Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Lembaga Pengawas Pasar Dalam Islam



By: Umi Indasyah Zahro, SE.
Analis muda dan Dosen Ekonomi Islam

Hisbah adalah sebuah kata yang agak ganjil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Walaupun, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Sebenarnya, hisbah adalah sebuah kata yang tak asing terdengar di pelosok Barat Indonesia, yaitu di Aceh dan di berbagai negara Islam lainnya. Dan begitulah memang maksud dari hisbah, sebuah perhitungan, ada unsur pengawasan, ada ponis dan reward di situ.

Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan di bawah kendali pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik, ketika masyarakat mulai untuk mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah, saat masyarakat mulai terbiasa dengan kesalahan itu. Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan, menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah.

Dengan semakin meningkatnya peradaban manusia maka semakin luas dan rumit persoalan perekonomian yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia saja, tetapi juga tentang bagaimana pelaksanaan di pasar tentang penjualan produk-produk yang pada kenyataannya di pasaran masih banyak terjadi kecurangan yang dilakukan para pedagang untuk mengelabui konsumen. Seperti menjual makanan yang sudah kadaluarsa, menjual makanan yang mengandung zat berbahaya, dan mengurangi timbangan. Dari adanya permasalahan tersebut maka dibutuhkanlah suatu pengawasan pasar yaitu al-hisbah untuk mencegah terjadinya kerugian terhadap konsumen dan agar para pedagang nakal tersebut mendapat sanksi.

Upaya negara untuk menjamin kemaslahatan, keadilan, dan permainan jujur di semua lini kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah. Tujuan di balik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi dengan bebas sehingga harga, upah, dan laba dapat ditentukan oleh kekuasaan permintaan dan penawaran (yang terjadi juga di negara kapitalis), melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya antara satu dengan yang lain dan mematuhi ketentuan syariat. Setiap tindakan kehati-hatian perlu diambil untuk menjamin bahwa tidak ada pemaksaan, penipuan, pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, atau pengabaian terhadap pihak yang melakukan akad, dan tidak ada penimbunan dan perusakan pasokan dengan tujuan menaikkan harga.

            Indonesia merupakan Negara Republik yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terdapat beberapa badan atau lembaga  yang mempunyai fungsi untuk mengawasi perekonomian baik di bidang pangan dan obat-obatan, perbankan, maupun moneter. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi dan tugsnya dengan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat agar terhindar dari kecurangan-kecurangan dari pihak yang tidak bertanggungjawab.

            Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang Hisbah yaitu lembaga pengawas pasar dalam Islam dan lembaga pengawas perekonomian yang ada di Indonesia agar dapat diketahui persamaan dan perbedaan diantara keduanya.

WILAYAT AL HISBAH DALAM ISLAM
Pengertian Wilayat al Hisbah

Wilayat al Hisbah  (ولايةالحزبة)secara etimologi terdiri dari dua suku kata, yaitu wilayat (ولاية) dan al Hisbah (الحسبة). Wilayat (ولاية) berarti kekuasaan dan kewenangan. Sedangkan hisbah  (الحسبة) berasal dari akar kata حسب-يحسب-حساب yang bererti menghitung, kalkulasi, berpikir (thinking) memberikan opini, pandangan, dan lain-lain. Sementara hisbah   (الحسبة) itu sendiri berarti imbalan, pengujian, melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.[1] Jadi, secara harfiyah Hizbah adalah suatu kewenangan dalam berbuat baik dengan penuh perhitungan.

Secara terminologi, Wilayat al Hizbah  adalah wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf ketika yang ma’ruf itu sudah jelas-jelas ditinggalkan orang dan mencegah yang munkar ketika sudah terang-terangan dikerjakan orang.[2] Ibnu Taimiyah secara tidak langsung menjabarkan pengertian dari Wilayat al Hizbah , yaitu:[3]

واماالمحتسب: فله الأمر باالمعروف والنهي عن امنكرمما ليس من خصائص الولاء والقضاة، و اهل الديوان ونحوهم.

“Adapun yang dimaksud dengan Muhtasib adalah yang diberi wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf dan mencegah yang  munkar, tidak termasuk wewenang peradilan, pejabatadministrasi dan sejenisnya.”

1.  Sejarah Wilayat al Hisbah

Wilayat al Hizbah  yang kemudian disebut dengan Hizbah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kemungkaran terjadi dimana saja termasuk di pasar sebagai pusat pertukaran barang dan jasa yang dilakukan oleh umat manusia. Oleh karena itu, hizbah sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat kecrangan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

a.  Zaman Nabi Muhammad SAW

Pada awal pemerintahan Islam, Nabi Muhammad SAW terjun langsung dan melakukan sidak ke pasar untuk melihat apakah ada kecurangan yang terjadi. Pernah suatu ketika Nabi Muhammad SAW menumpahkan khamar yang diperdagangkan oleh seorang laki-laki yang bermodalkan harta anak yatim.[4]

b.  Zaman Khulafa ar Rasyidin

Setelah wafatnya Rasulullah, pemerintahan Islam di bawah kendali Khulafa ar Rasyidin. Sebagai contoh bentuk pengawasan yang pada zaman Khulafa ar Rasyidin dilakukan oleh Abu Bakar dalam memerangi kaum murtad, Nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.[5]

c.   Zaman Bani Umayyah

Pada zaman bani umayyah Muhtasib dilantik dan diberhentikan oleh khalifah. Jadi khalifah tidak terjun secara langsung dalam mengawasi pasar. Pada masa ini, Muhtasib mempunyai tugas untuk menindak pelanggaran-pelanggaran syara dengan segera, mengatur pasar, mengecek timbangan, takaran dalam pasar dan sebagainya.[6]

d.  Zaman Dinasti Abbasyiah

Pada masa Abbasyiah hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim menghadap perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib.[7] Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al qudhah baik mengankat maupun memberhentikannya.[8]

3. Peran, Fungsi dan Wewenang Hisbah
a. Peran Hisbah

Lembaga ini berperan sebagai lembaga pengawas pasar ekonomi yang memonitor perilaku para pelaku ekonomi agar berjalan sesuai dengan koridor dan mekanisme yang menjadi tujuan-tujuan syariah (maqashid asy-syari’ah), yaitu kemaslahatan umum yang ditujukan untuk memelihara agama, diri, akal, keturunan, dan harta.[9] Sebagai lembaga pengawas ekonomi, hisbah menjamin tidak terjadinya monopoli, pelanggaran aturan moral dalam pasar, hak konsumen, keamanan, dan kesehatan kehidupan ekonomi. Hisbah juga merupakan lembaga otonom, terpisah dari lembaga yudisial dan eksekutif.

Pihak yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi hisbah disebut muhtasib. Muhtasib adalah orang yang memiliki kompetensi inti (core competence) dalam hal integritas moral, masalah hukum, pasar, dan industri. Muhtasib mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktek-praktek ekonomi, mengawasi industri, jasa profesional, standarisasi produk, dan mengawasi penimbunan barang, praktek riba dan perantara. Dengan demikian muhtasib tidak saja berfungsi sebagai pengamat dan pengawas sosial ekonomi, tetapi juga yang lebih penting adalah ia mampu menempatkan nilai-nilai Islam (kejujuran, kebenaran, keadilan, dan keterbukaan) dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kinerja pemerintah sebagai upaya aktualisasi nilai-nilai agama kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan individu dan masyarakat yang saling asah, asih, dan asuh.

Selain itu, muhtasib juga memiliki fungsi sebagai pejabat kota yang menjamin pembagunan rumah atau toko-toko sesuai dengan ketentuan hukum dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat umum. Terkait dengan peran sosial, ekonomi dan religius dari muhtasib ini, Ibnu Taimiyah mengungkapkan:[10]

Muhtasib harus memerintahkan semua yang berada dibawah kewenangannya untuk melaksanakan shalat Jum’at, menunaikan shalat wajib lainnya, menegakkan kebenaran, membayar kembali simpanan, melarang perbuatan buruk, sepertiberkata dusta, mengurangi timbangan, melakukan penipuan pada masalah industri, perdagangan, dan agama, dan sebagainya.


Lembaga ini dapat membimbing jalannya kehidupan masyarakat ke arah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Sehingga masalah kemiskinan dapat terpecahkan. Memang masalah kemiskinan adalah karena tidak dilakukannya kegiatan perekonomian sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadits. Hisbah mempunyai peran yang sangat penting dalam ekonomi, yaitu:[11]

1) Standarisasi mutu yang cukup tinggi.
2) Regulasi perdagangan lebih teratur.
3) Terhindarnya ekonomi biaya tinggi.
4) Harga yang terbentuk di masyarakat tidak akan mendzalimi masyarakat.
5) Kesejahteraan masyarakat akan lebih merata.
6) Perdagangan di dunia internasional lebih menguntungkan.
7) Kecerdasan masyarakat dalam ekonomi.
8)Pemain yang berada di perdagangan adalah yang terbaik.

Tugas seorang muhtasib bisa dibedakan sebagai berikut:[12]
a. Berhubungan dengan hak-hak Allah

1) Mengawasi pelaksanaan shalat jum’at dan jama’ah, dan menyiksa orang yang meninggalkannya tanpa alasan yang syar’i, melarang orang untuk tidak berpuasa, mencegah orang untuk meminta-minta tanpa hajat, dan mencegah orang-orang bodoh untuk memberikan fatwa tentang persoalan agama.

2) Mencegah tindak kemunkaran dalam muamalah, seperti riba, jual beli yang batil, penipuan dalam jual beli, kecurangan dalam harga, timbangan serta takaran.

3) Etika umum, mencegah manusia dari perkara syubhat, seperti bercampurnya wanita di jalanan, mabuk-mabukan atau hiburan yang melalaikan.

b. Berhubugan dengan hak-hak manusia

1) Mencegah tindakan menunda-nunda dalam menunaikan hak dan utang.

2) Memberikan perlindungan dan menanggung kehidupan anak-anak.

3)   Tidak melukai hak-hak para tetangga.

c. Berhubungan dengan layanan publik

1) Mengawasi peran pemerintah dalam menjaga gedung publik dan mesjid, melindungi anak-anak jalanan yang menggunakan harta kaum muslimin (bait al-māl).

2) Menekankan pemilik hewan ternak untuk memberikan makan, dan tidak memanfaatkannya untuk pekerjaan yang tidak kuat ditanggungnya, atau mencegah pemilik perahu menaikkan beban yang berlebihan agar tidak karam.
3)   Mencegah imam untuk memanjangkan bacaan shalat.

4) Menjaga adab dan etika Islam dengan memisahkan laki-laki dan perempuan.

5) Mengawasi transaksi pasar, jalan-jalan umum dan penarikan pajak.

6)  Memberikan kemuliaan kepada para dokter dan pengajar.

7)  Memuliakan produsen, sehingga produknya bisa bersaing.

Berdasarkan penjelasan ini, tugas seorang muhtasib adalah untuk menertibkan pelayanan publik. Tugas mereka lebih dekat dengan perilaku masyarakat daripada pejabat atau pemimpin. Konsep al-hisbah dicetuskan kali pertama oleh Rasulullah ketika berkeliling di pasar Madinah ketika melakukan pengawasan. Rasulullah melewati seorang pedagang makanan, tangan beliau dimasukkan dalam makanan dan ditemuinya dalam keadaan basah, dan bersabda: “Apa ini hai pemilik makanan?” dan ia menjawab, “Ya Rasulullah, itu telah basah terkena air hujan.” Rasul besabda: “Tidakkah engkau letakkan di atas, agar bisa dilihat oleh manusia? Barang siapa menipu kami, maka tidak termasuk dalam bagian kami.[13]

Khalifah Umar bin Khattab juga menjalankan tugas muhtasib, walaupun istilah ini baru dikenal pada masa Bani Abbasiyah (158-169 H). Suatu ketika Khalifah menepuk seekor onta, dan berkata: “Engkau membebani onta kamu dengan beban yang tidak kuasa ditanggungnya.” Khalifah juga memberikan pendidikan etika, seorang lelaki bersama wanita di jalanan umum, dan ketika beliau mengetahui ia adalah istrinya, maka berkata: “Karena engkau melakukan hal ini, maka engkau mendorong kaum muslimin untuk melakukan ghibah.[14]

b. Fungsi Hisbah

Secara ekonomi, Islahi mencatat beberapa fungsi khusus dari muhtasib. Pertama, memenuhi dan mencukupi kebutuhan. Ia harus selalu mengecek ketersediaan suplai barang-barang kebutuhan pokok (basic needs). Ia memiliki wewenang melalui otoritas negara untuk memenuhi kebutuhan ini secara langsung. Kedua, mengawasi produk industri. Bilamana terdapat industri yang melakukan tindakan yang merugikan banyak pihak, maka muhtasib memiliki otoritas untuk menjatuhkan sanksi.

Ketiga, mengawasi kinerja penyedia jasa dan kaum profesional seperti dokter, ahli farmasi, dan pegawai hotel supaya malakukan tugas secara layak sesuai dengan standarisasi moral dan undang-undang yang berlaku. Keempat, mengawasi perdagangan. Fungsi ini merupakan fungsi kontrol terhadap pasar dan berbagai praktek dagang. Muhtasib dalam hal ini mengawasi timbangan, ukuran, dan kualitas produk, dan menjamin para pedagang, dan agen mereka tidak melakukan praktek bisnis yang merugikan konsumen.[15]

Penjelasan di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa pembangunan secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Dalam hal ini, al-hisbah sudah memainkan peranannya dengan baik. Ini juga menyiratkan bahwa institusi al-hisbah yang memiliki akar dari tradisi Rasulullah telah melampaui zamannya dalam hal beliau sudah mengaplikasikan konsep “Negara Sejahtera” (welfare state) sebagaimana dikenal dalam dunia moderen.[16]

c. Wewenang Hisbah

Menurut Al-Mawardi kewenangan lembaga hisbah ini tertuju kepada tiga hal yaitu:[17]

1) Dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan   takaran atau timbangan.

2) Dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa.

3) Dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.

Salam Hangat Jotako7
Jurnal Of Trust And Kaleidoscopical Obsession
Jujur Omongane, Tawadhu’ Akhlake, Kualitas Obrolane



[1]  Muhammad Fuad Abd Al Baqy, Al Mu’jam Al Mufahras li Alfaz Al Qur’an (Kairo: Dar al Hadits, 1987), hlm. 200-201.
[2] Al Mawardi, Al Ahkam al Sultaniyah wa al-Wilayatal Diniyyah (T.th., Dar al Kutub al Ilmiyyah), hlm. 299.
[3] A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 15.
[4] Abu Isya Muhammad bin Isya bin Sarwah al-Tirmidzi, Al Jami’ al-Shahih Sunan Al Tirmidzi (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 2000), II, hlm,. 309.
[5] Jalaluddin al-Suyuti, Tarikh Khulafa’ al Rasyidin (T.Th., Beirut: Dar al Fikr), hlm. 67.
[6] Ahmad Fitri, Studi Analisis Peran Lembaga Hisbah Pada Masa Pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab (Semarang: IAIN Wlisongo, 2010), hlm. 62.
[7] Joeseph Schacht,  An Intoduction To Islamic Low (Claredon Press,1964), hlm. 52.
[8] Hasssan Ibrahim Hassan, Tarikhal-Daulah Al-Fathimiyyah (Kairo:Al-Maktabah Al-Mukhossoh Mukhashah Al-Mishriyyah,1993), hlm. 363.
[9] Muhammad, Ekonomi Islam: Kontribusi Fundamentalisme Islam Untuk Ekonomi Islam (Malang: Empat Dua, 2009), hlm. 23.
[10] Muhammad, Ekonomi Islam...., hlm. 23.
[11] Ridho Ibn Ambra. Hisbah.  http://ridhoibnambra.blogspot.com/2010/08/hisbah.html. Diakses pada hari Sabtu tanggal 28 Mei 2016 jam 16.15 WIB.
[12] Ahmad Ibrahim Abu Sinn. Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 199.
[13] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah....., hlm. 200.
[14] Ibid.,
[15] Muhammad, Ekonomi Islam....., hlm. 24.
[16] Ibid.,
[17] A. Firdauz, Peran Lembaga Hisbah Dalam Sistem Perekonomian Islam, http://afirdauz.blogspot.com/2013/04/peran-lembaga-hisbah-dalam-sistem_16.html. Diakses pada hari Sabtu tanggal 28 Mei 2016 jam 16.30 WIB.

Post a Comment for "Lembaga Pengawas Pasar Dalam Islam"