Kemajuan : Antara Ego dan Ambisi
Tahun 1998 merupakan babak baru
bagi indonesia dari segi perpolitikan. Krisis multidimensional yang tak kunjung
usai, menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk menuntut suatu perubahan di
segala bidang. Setiap harinya media masa memberitakan aksi-aksi protes
rakyat yang pada waktu itu bersama mahasiswa menyuarakan perubahan.
Bahkan aksi-aksi
protes itu berujung pada situasi yang tidak dikehendaki acapkali terjadi, hal
ini bisa kita lihat pada dokumentasi-dokumentasi dari berbagai media yang ada
antara bulan februari sampai mei 1998. Begitu tampak jelas kekuatan perubahan
besar ini bisa menumbangkan pemerintahan orde baru yang telah berdiri kokoh selama
30 tahun.
Klimaks dari panasnya
kejadian perpolitikan nasional pada waktu itu adalah ketika presiden Soeharto
membacakan pernyataan pengunduran dirinya dari jabatan presiden Republik
Indonesia pada tanggal 21 mei 1998 tepatnya. Secara otomatis wakil presiden
kala itu Prof. Dr. BJ. Habibie menggantikan Soeharto untuk memimpin tanah air
Indonesia ini.
Kontan saja momen
pengunduran presiden ke-2 ini kala itu disiarkan secara langsung oleh media
massa dan mendapatkan sambutan hangat oleh berbagai kalangan rakyat Indonesia
yang memimpikan perubahan. Beberapa media cetak kala itu memberitakan bahwa
masyarakat khususnya kalangan mahasiswa langsung turun jalan untuk menyambut
turunnya Soeharto. Dari sinilah muncul istilah reformasi.
Bermula pada era
reformasi mewarnai dinamika perpolitikan di Indonesia, istilah demokrasi adalah
sesuatu yang selalu didengungkan, tak terkecuali di lingkungan akademisi atau
kampus perkuliahan. Kampus merupakan ruang yang seharusnya paling demokratis,
karena gerakan pro demokrasi justru dirintis sejak masih berupa embrio
oleh gerakan mahasiswa dari dalam kampusnya.[1] Hal
ini tidak bermaksud untuk mengabaikan peran individu-individu atau
kelompok-kelompok masyarakat yang juga berperan penting dalam memperjuangkan
demokrasi.
Karena kuatnya
hembusan demokrasi ini, sehingga beberapa kampus baik swasta maupun negeri
sepertinya tidak mau ketinggalan, bahkan mungkin takut dianggap tidak
menerapkan proses demokrasi di kampusnya. Pembenahan di segala lini
dilakukan, salah satu yang paling mencolok adalah sistem perpolitikan unit
kegiatan mahasiswa (UKM).
Tragedi 1998
merupakan bukti besar mahasiswa yang mampu merubah keadaan dengan menggulingkan
rezim orde baru yang dianggap tidak adil pada rakyat. Agent of change merupakan
gelar yang disandangkan kepada mahasiswa sebagai penggerak mewujudkan
perubahan, membela rakyat kecil serta menjunjung tinggi keadilan demi
kesejahteraan bersama.
Ironisnya adalah
setelah meruntuhkan orde baru, gerakan mahasiswa mulai kehilangan orientasinya.
Pemerintahan orde baru sudah ambruk namun teriakan reformasi sampai sekarang
belum juga terwujud dengan baik. Cita-cita bersama untuk untuk memperjuangkan
kesejahteraan rakyat tidak lagi terdengar dan dilupakan oleh mahasiwa sekarang
ini.
Banyak UKM
berlomba-lomba bergerak dan berjuang tidak lagi untuk cita-cita ideal mahasiswa
tetapi lebih mengarah pada perlombaan dan perjuangan untuk kepentingan pribadi
maupun kelompoknya sendiri. Fenomena semacam ini berimbas pada kondisi sosial
politik di komunitasnya sendiri (kampus).
Persaingan-persaingan
antar organisasi yang sejatinya memiliki visi dan misi sama berubah menjadi
permusuhan dan peperangan ideologi/ kepentingan yang tidak sehat. Lebih
disayangkan lagi jika hal tersebut sampai melahirkan budaya-budaya premanisme
dan anarkisme pada pergerakan mahasiswa yang berbasiskan pada intelektual.
Tidaklah dipungkiri bahwa hal tersebut hanyalah mengotori dunia kampus dan
menjadi biang perpecahan mahasiswa.
Semangat!!!
ReplyDeleteYuhuuu
ReplyDelete