Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Butuh Alternatif : Pemilu Gak Efektif dan Efisien


by: Ibnu Kharis 

Indonesia dan Kondisi Pemilu Saat Ini

            Sudah lebih dari lima kali Indonesia melakukan Pemilihan Umum (pemilu), mulai dari tahun 1955 Indonesia memulai sejarah barunya dikancah politik. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini adalah salah satu pemilu yang dikatakan paling demokratis, karena pada saat itu semua partai berturut andil dalam pemilihan dalam rangka menjaga NKRI.[1]

            Indonesia merupakan negara berkembang yang mengadakan pemilu setiap 5 tahun sekali. Hal itu merupakan kebutuhan yang urgen dalam memilih wakil rakyat dan presiden.

Menurut data dari bank dunia pada tahun 2010 dalam indikator pembangunan dunia, Indonesia dengan  total jumlah penduduk 239.870.940 yang tersebar di 33 provinsi. Dengan kondisi geografis berupa kepulauan serta kondisi  infrastruktur jaringan yang masih terbatas di beberapa wilayah yang bukan wilayah dari pulau ibukota. 

Hal ini akan menjadi sebuah tantangan menarik untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem yang sudah terintegrasi dengan tujuan efektifitas dan efisiensi besar yang diadakan minimal setiap 5 tahun sekali ini.  Terdiri dari pemilihan presiden dan wakilnya, pemilihan wakil rakyat, baik untuk DPR, maupun DPRD tingkat provinsi dan kabupaten, kemudian ditambah lagi dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta sekup yang lebih kecil lagi pemilihan Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakilnya.[2]

Partisipasi masyarakat untuk ikut mengawasi tahapan pemilihan umum (pemilu) dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Selain karena ruang untuk pengawasan yang tidak jelas, banyak di antara masyarakat juga yang urung melapor apabila mendapatkan kejanggalan karena takut menjadi sasaran. Secara statistik, partisipasi warga dalam memilih turun jika dilihat dari Pemilu 1999 (golput 10,21 persen), 2004 (golput 23,34 persen), dan 2009 (golput 39,10 persen). 

Dari data yang dimiliki organisasi Migrant Care pada Pemilu 2009, partisipasi buruh migran di luar negeri masih rendah, 22 persen (324.868) dari Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri (DPTLN) berjumlah 1,475.847 pemilih. Kecenderungan ini, ditambah perilaku para politisi korup, menimbulkan kekhawatiran partisipasi Pemilu 2014 makin rendah.[3] Menurut Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya, secara kuantitatif, jumlah golput akan terus meningkat. Namun, yang akan meningkat adalah golput karena alasan apatis, bukan golput karena apolitis, bukan pula golput karena administratif. Dan yang menjadi pemicu golput apatis adalah meningkatnya ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara disebabkan sistem politik dan sistem pemilu yang tidak ideal.[4]

Disisi lain, biaya pemilu sangatlah mahal. Pemerintah telah menyiapkan alokasi anggaran sebesar Rp16 triliun untuk pesta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.[5] Biaya pemilihan umum tersebut sebagai anggaran khusus untuk KPU, biaya partai, dan biaya kandidat. anggaran pemilu sangatlah mencekik dan tidak sebanding dengan anggaran APBD, anggaran dinas, dan kementrian lainnya. setelah biaya pemilu ditotal dengan rincian 16T untuk KPU, 3.26T untuk Bawaslu, dan 3.59 T untuk polisi pengamanan pemilu menjadi 22.85T, maka tidaklah seimbang dengan biaya kementrian (kehutanan, riset teknologi, perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM, serta lingkungan hidup) dengan total 16.49T.[6] Sungguh ironis APBN Indonesia ini.

Masih banyak hal yang menjadi ironis dari dampak mahalnya biaya pemilu di Indonesia berupa tragedi bunuh diri, kasus korupsi, dan berbagai macam konflik kerusuhan. Itulah kemungkinan atas kejadian setelah pemilu, bagi yang kalah akan membayar hutang, stress, atau bahkan bunuh diri. Bagi yang menang dalam pemilu ia akan bayar hutang, mengembalikan modal, dan korupsi (mengambil keuntungan jabatan). Berdasarkan data Kemendagri, ternyata 98 % pasangan Kepala Daerah - Wakil Kepala Daerah di Indonesia mengalami pecah kongsi ditengah-tengah berlangsungnya masa jabatan.[7] Pemilu di Indonesia terkesan sulit dilaksanakan mulai dari Validasi DPT, Distribusi Logistik Pemilu, dan Verifikasi Kecurangan.

Inilah Indonesia dengan sistem pemilu yang masih perlu dibenahi dengan bertahap, secara mufakat bersama demi Indonesia yang Merdeka, dan merdeka yang sesungguhnya.


Pemilu Alternatif ala bung Hatta

Dengan latar belakang diatas, maka akan menjadi baik jika berbagai masalah dan polemik tersebut dicarikan sebuah alternatif yang efektif dan efisien. Pancasila sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” memberikan sebuah titik akan gagasan musyawarah mufakat. 

Bung hatta dalam bukunya demokrasi asli Indonesia dan kedaulatan rakyat memberikan sebuah solusi cerdas dengan sitem alternatifnya: Karakter gagasan Pemilu Alternatif  bertolak belakang dengan Pemilu Saat ini. Pemilu saat ini berkarakter Mahal, Sulit, Tidak Demokratis, Individualis (One Man One Vote) dll. Sementara itu Pemilu Alternatif berkarakter: Murah, Mudah, Lebih Demokratis, Berbasis Musyawarah-Mufakat Secara Berjenjang, dimulai dari Desa-Kelurahan. Pada gagasan ini, konsep Kandidat, Partai dan KPU berbeda sekali dengan apa yang ada pada saat ini. 

Kandidat legislatif  boleh berasal dari partai, ormas maupun individu, yang penting bertandingnya harus dimulai dari kelurahan masing-masing. Partai boleh ada, dan tidak harus berupa partai nasional, karena boleh bersifat lokal maupun regional. KPU-nya juga tidak harus bersifat nasional  dan membebani APBN/APBD seperti saat ini, karena dilaksanakan dan dibiayai oleh masyarakat sendiri mulai dari desa-kelurahan masing-masing.[8]

Bung Hatta menyampaikan bahwa demokrasi kita berdasarkan kepada Kolektivisme. Sifat pertamanya, mengambil keputusan dengan musyawarah mufakat, merupakan dasar untuk demokrasi politik. Sifat keduanya, tolong-menolong dan gotong-royong, merupakan dasar untuk demokrasi ekonomi.

Demokrasi Asli Indonesia itu adanya di Desa. Akan tetapi di atas dasar “demokrasi asli” itu. Kaum ningrat yang kolot nanti dapat mempertahankan peraturan feodalisme (sifat perbudakan) bagi Indonesia, dengan mengambil contoh kepada Indonesia lama (zaman kerajaan). Demokrasi asli harus diluaskan dan dilanjutkan, yakni ke cara-cara perwakilan dengan perantaraan rapat-rapat dan dewan-dewan berjonjong (bersusun-susun) dari bawah ke atas,  dari yang sekecil-kecilnya di desa sampai kepada yang sebesar-besarnya, dewan rakyat Indonesia.

Ciri-ciri dari pemilu alternatif adalah secara bertingkat dimulai dari desa-kelurahan, Kental dengan musyawarah–mufakat, tidak wajib partai KPU-nya dibentuk oleh dan berada di tiap desa-kelurahan, biaya pemilu ditanggung oleh masyarakat cara pemilihan perwakilan diatur oleh masing –masing desa-kelurahan sesuai kesepakatan dan nilai-nilai asli setempat.

Kesimpulan

            Indonesia merupakan negara yang berasaskan pada pancasila dan UUD, namun sistem pemilu yang berjalan dari tahun 1955-sekarang (2014) tidaklah mencerminkan nilai-nilai pancasila secara utuh sehingga berbagai dampak negatif yang selalu meliputi kehidupan rakyat Indonesia sendiri. Oleh karena itu Pemilu Alternatif merupakan solusi yang sesuai dengan asas bangsa Indonesia ini, dengan sistem Bottom up yang akan mencegah Devide at impera dan menjadikan kesatuan dan persatuan Indonesia menjadi nyata.




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_indonesia, diakses pada 01/04/2014 19:23
[2] Rolly Maulana Awangga, Pengajuan Model Pengambilan Data pada Sistem Pemilu di Indonesia, awangga@gmail.com.
[4] Ibid.
[6] Ahmad Nasution, dosen Universitas Sumatera Utara (USU) dalam sebuah pemaparan Pemilu Alternatif ala Bung Hatta.
[8] Zaid Perdana Nasution dkk. http://www.pemilugagal.net/pg-pa-pv/, diakses pada 02/04/2014 15:41.

Post a Comment for "Butuh Alternatif : Pemilu Gak Efektif dan Efisien"