RSI Purwokerto: Antara Persaudaraan dan Ambisi
Suasana menjelang lebaran tahun ini publik Purwokerto khususnya
organisasi masyarakat (Ormas) terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah
sedang bersitegang dengan adanya kasus akuisisi Rumah Sakit Islam Purwokerto
(RSIP) oleh pihak Ormas Muhammadiyah.
Munculnya berita akuisisi tersebut ke permukaan masyarakat sudah
barang tentu membuat gejolak massa dari pihak NU menolak akuisisi tersebut.
Sejarah dualisme pemikiran raksasa Ormas di Indonesia ini di perkirakan akan
menjadikan citra Islam semakin tercoreng di mata publik bila tidak diselesaikan secara kekeluargaan oleh kedua
belah pihak.Dua Ormas saudara kembar yang lahir dari niat tulus Kyai Hasyim
Asy’ari dan Kyai Ahmad Dahlan ini
bertujuan untuk menjunjung tinggi memperjuangkan agama Allah di bumi nusantara
Indonesia, kini sudah banyak dipengaruhi oleh pihak kubu oposisi NU dan
Muhammadiyah seperti imperialis (musuh yang menusuk dari pihak dalam).
Secara tidak sadar dua saudara ini selalu saja terperangkap
pada lobang-lobang perbedaan atau
seakan-akan musuh bagi kedua belah pihak. Seperti permasalahan metode rukyah vs
hisab untuk menentukan awal ramadhan/syawwal, bedo’a qunut saat subuh, ada atau
tidaknya kentong dan bedug di masjid, shalawatan setelah adzan,
bersama-sama/sendirian saat wiridan dzikir setelah shalat, ziarah kubur,
tahlilan, baca shalawat juga hikayat nabi Muhammad Saw, keras/pelannya basmalah
shalat, 8/20 rakaat tarawih, dan perbedaan lainnya yang selama ini menjadi
momok pernbedaan NU dan Muhammadiah.
Pihak Muhammadiyah beranggapan bahwa RSIP adalah pembangunannya
dahulu merupakan mayoritas oleh pihak Muhammadiyah, sehingga wajar jika saat ini RSIP tersebut diakuisisi oleh Ormas
Muhammadiyah. Nantinya akan dikelola dengan manajemen yang lebih maju atas
kerjasama Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang memiliki Fakultas
kedokteran.
Langkah ini dirasa menjadi
niatan yang baik bagi pihak muhammadiyah karena di satu sisi dirinya akan
memajukan RSIP jauh lebih baik dari sebelumnya dengan meningkatkan pelayanan,
fasilitas RSIP bagi masyarakat Purwokerto dan di satu sisi lainnya pihaknya
yang memiliki Fakultas Kedokteran UMP yang bisa berkolaborasi dengan RSIP.
Sementara alasan pihak Ormas NU melalui penolakan demo dari Banser, Anshar dan anak
cabangnya adalah demi kebaikan pula.
Yaitu meminimalisir risiko pergesekan/pertengkaran nantinya oleh anggota
masyarakat NU sendiri maupun Muhammadiyah yang masih awam dan tidak
mengeahuinya persamaan visi misi NU Muhammadiyah. Toh pada dasarnya dahulu saat pembangunan RSIP itu
bukan hanya pihak Muhammadiyah saja, melainkan swadaya bersama masyarakat
Banyumas secara umum.
Jadi anggapan bahwa RSIP itu milik Muhammadiyah adalah tidak benar
dan pihak Ormas NU sepakat menolak akuisisi RSIP menjadi milik organisasi
Muhammadiyah.
Menurut analisis sejarah Pararaton dan Negarakertagama (kitab
sejarah Raja-raja Singhasari dan Majapahit), kejadian ini (kasus RSIP) bagaikan
kisah Ken Arok dahulu yang memancing di air keruh ketika terjadi peperangan
antara Kediri dan Tumapel di paruh abad 12.
Dengan memprovokasi kedua belah pihak, ken arok berambisi
mendapatkan kekuasaan/kepemimpinan serta Ken Dedes cantik istri raja Tumapel.
Hingga terjadilah pertempuran maut yang menjadikan Kediri kalah dalam
peperangan tersebut sementara Raja Tumapel terbunuh.
Dengan kondisi demikian Ken Arok cepat mengambil alih tampuk
kepemimpinan dan dengan sedikit sentuhan politik digabungkannya kedua kerajaan
tersebut lalu merubah namanya menjadi Singasari dengan Ken Arok sebagai raja
pertamanya.
Ada pembelajaran yang dapat kita petik dari catatan sejarah abad
ke- 12 tersebut, dimana kisah ini sangat relevan dengan kasus perebutan RSIP
Purwokerto oleh pihak Muhammadiyah dan penolakan masyarakat NU khususnya.
Ketika Ken Arok menjadi seorang abdi rendahan (dulunya dia abdi akuwu yang taat
dan rajin) tentunya dia punya integritas (baca : Kejujuran, Komitmen dan
Konsistensi) yang tinggi, oleh sebab itu dia berhasil menjadi orang kepercayaan
Tunggul Ametung, tanpa integritas tentu dia tidak terpilih menjadi tangan kanan
sang Akuwu (ken arok diangkat sebagai asisten akuwu berkat integritasnya).
Namun ketika dia telah menjadi orang kepercayaan dengan segala
kewenangan yang ada, integritasnya mulai diuji oleh TAHTA (Baca:
Kedudukan/Jabatan/Kekuasaan/Citra Masyarakat), HARTA (Baca: Uang/Properti/RSIP
dll.) dan WANITA (baca: Perhiasan/iming-iming kemewahan, dll.), sehingga dia
mulai tidak konsisten lagi dengan komitmen dan kejujurannya.
Artinya NU-Muhammadiyah harus kuat dengan Integritasnya, jangan
sampai bertengkar hanya gara-gara RSIP, jangan sampai menunjukkan sifat yang
bukan Islami di tengah-tengah masyarakat hanya karena virus-virus Ken Arok
abad 21 yang menyelinap dalam diri kita
saat ini.
Perlu di ingat kembali bahwa komitmen NU dan Muhammadiyah pada
dasarnya dahulu oleh founding father’snya
adalah untuk membumikan agama Allah di Nusantara, NU membuka cakrawala
Islam di pedesaan sementara Muhammadiyah menyebarkan Islam di perkotaan. Ini
adalah komitmen mengabdi pada Allah yang subhanallah hasilnya sangat terasa
sekarang ini.
Tanpa kontribusi NU dan Muhammadiyah apalah jadinya Indonesia
sekarang. Kita memang harus jujur sejujur-jujurnya. Bahwa kita berdua
(NU-Muhammadiyah) adalah “Saudara, Teman Seperjuangan, Kakak-Adik, Sepaham Dan
Satu Tujuan” dalam berdakwah untuk membumikan Islam di Indonesia untuk
mewujudkan negara yang madani, aman dan
sejahtera yang diridhoi oleh Allah (baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur). baik
yang ada di pedesaan/pedalaman maupun yang ada di perkotaan.
Selanjutnya kita memang mengakui ada perbedaan antara
NU-Muhammadiyah, ibarat sandal jepit/sepatu yang kita pakai diakui “Memang
Berbeda” antara sandal untuk kaki kanan dan untuk kaki kiri, namun bukankah
esensinya itu sama?
Jadi NU-Muhammadiyah adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan
jangan sampai dipisahkan oleh pihak lain. Agama kita sama-sama Islam, sama-sama
menyembah Allah, sama-sama berguru pada Kyai Mahfudz at-Tarmasie, sama-sama
akidahnya adalah Sunni, nabinya Muhammad, kitabnya sama-sama al-Quran, dan kita juga sama-sama percaya bahwa muslim sejati
harus saling tenggang rasa, saling
menanggung jika salah satu diantara kita lemah/sakit, dan saling musyawarah
jika terjadi perselisihan.
Kini, terkait berita RSIP akan diakuisisi oleh pihak Muhammadiyah
muncul demo penolakan pihak NU, demo para dokter, demo mahasiswa, dan lainnya
dengan alasan masing-masing. Jika memang menimbulkan banyak risiko/madharat
bukankah menolak kerusakan/madharat itu lebih baik dari pada mengambil
kebaikan-kebaikannya.
Ada baiknya jika NU-Muhammadiyah menjadikan RSIP adalah RSIP milik
Bersama, yang mampu menjadikan rumah sakit Islam Purwokerto adalah bagian dari
cerminan kerukunan dan persahabatan NU-Muhammadiyah.
IBNU KHARIS
Purwokerto, 27 Juni 2016
Pihak Muhammadiyah beranggapan bahwa RSIP adalah pembangunannya dahulu merupakan mayoritas oleh pihak Muhammadiyah, sehingga wajar jika saat ini RSIP tersebut diakuisisi oleh Ormas Muhammadiyah. Nantinya akan dikelola dengan manajemen yang lebih maju atas kerjasama Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang memiliki Fakultas kedokteran.
Sementara alasan pihak Ormas NU melalui penolakan demo dari Banser, Anshar dan anak cabangnya adalah demi kebaikan pula. Yaitu meminimalisir risiko pergesekan/pertengkaran nantinya oleh anggota masyarakat NU sendiri maupun Muhammadiyah yang masih awam dan tidak mengeahuinya persamaan visi misi NU Muhammadiyah. Toh pada dasarnya dahulu saat pembangunan RSIP itu bukan hanya pihak Muhammadiyah saja, melainkan swadaya bersama masyarakat Banyumas secara umum.
Ketika Ken Arok menjadi seorang abdi rendahan (dulunya dia abdi akuwu yang taat dan rajin) tentunya dia punya integritas (baca : Kejujuran, Komitmen dan Konsistensi) yang tinggi, oleh sebab itu dia berhasil menjadi orang kepercayaan Tunggul Ametung, tanpa integritas tentu dia tidak terpilih menjadi tangan kanan sang Akuwu (ken arok diangkat sebagai asisten akuwu berkat integritasnya).
Perlu di ingat kembali bahwa komitmen NU dan Muhammadiyah pada dasarnya dahulu oleh founding father’snya adalah untuk membumikan agama Allah di Nusantara, NU membuka cakrawala Islam di pedesaan sementara Muhammadiyah menyebarkan Islam di perkotaan. Ini adalah komitmen mengabdi pada Allah yang subhanallah hasilnya sangat terasa sekarang ini.
Tanpa kontribusi NU dan Muhammadiyah apalah jadinya Indonesia sekarang. Kita memang harus jujur sejujur-jujurnya. Bahwa kita berdua (NU-Muhammadiyah) adalah “Saudara, Teman Seperjuangan, Kakak-Adik, Sepaham Dan Satu Tujuan” dalam berdakwah untuk membumikan Islam di Indonesia untuk mewujudkan negara yang madani, aman dan sejahtera yang diridhoi oleh Allah (baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur). baik yang ada di pedesaan/pedalaman maupun yang ada di perkotaan.
Kini, terkait berita RSIP akan diakuisisi oleh pihak Muhammadiyah muncul demo penolakan pihak NU, demo para dokter, demo mahasiswa, dan lainnya dengan alasan masing-masing. Jika memang menimbulkan banyak risiko/madharat bukankah menolak kerusakan/madharat itu lebih baik dari pada mengambil kebaikan-kebaikannya.

Post a Comment for "RSI Purwokerto: Antara Persaudaraan dan Ambisi"