Nilai Budaya Pada Bangunan Masjid Saka Tunggal Cikakak
By: Al-Chamiriyanto
Diolah dari Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr IAIN
Purwokerto
Masjid Saka Tunggal yang memiliki fungsi utama sebagai
tempat ibadah masyarakat muslim disekitarnya, juga mempunyai dimensi eksoteris
yang dapat dijadikan media kumunikasi simbolik bagi masyarakat lokal setempat
dalam upaya melestarikan nilai kearifan lokal yang ada dari masa ke masa yang
diturunkan oleh generasi terdahulu kepada generasi penerusnya secara linier.
Bentuk arsitektur Masjid Saka Tunggal, selain secara
praktis merupakan bentuk yang lazim digunakan masyarakat pada saat itu sebagai
bentuk rumah ibadah dan secara aplikatif diplihnya bentuk tersebut bertujuan
agar bangunan yang bersifat umum dan digunakan dalam keseharian komunitas
masyarakat Islam pada waktu itu agar dapat awet dan tahan lama, juga memiliki
aspek nilai seni yang cukup indah sebagai hiasan dekoratif masjid serta nilai
folosfi yang berasal dari kearifaan lokal budaya masyarakat Jawa sendiri.[1]
Pada bentuk masjid misalnya, dimana bentuk Masjid Saka
Tunggal memiliki gaya arsitektur pra Islam yang menyerupai bangunan Pura
ataupun pasraman Hindu. Muatan nilai filosfi Jawa secara simbolik juga ikut
ditorehkan kedalam beberapa bentuk bagian bangunan Masjid Saka Tunggal, yang
dapat diketahui secara garis besar sebagai berikut :
1.
Atap
Masjid Saka Tunggal pada mulanya memiliki tiga buah atap tumpang yang oleh
masyarakat jawa sering diinterprestasikan dengan hierarkis keberadaan manusia
secara kosmologi mulai dari apa yang disebut dengan ”bhurloka” atau underworld
sebagai tingkatan alam yang terendah sebagai wadah dari makhluk-makhluk
dibawah tingkatan derajat manusia sebagai ikonografi nafsu hewani manusia yang
cenderung bersifat negatif (adharma)
yang disimbolisasikan dengan atap pertama.
”bhuwahloka” atau alam kemanusiaan
dimana tempat bertemunya antara sifat baik dan buruk manusia (dharma dan
adharma) yang disimbolisasikan dengan atap tingkat ke dua. “bhuwasloka”
atau alam para dewa[2] atau
malaikat dalam terminologi Islam, sebagai ikonografi sifat kebaikan dan
keshalihan (dharma) yang disimbolkan dengan atap ke tiga.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
potensi yang bersifat baik (dharma) dan buruk (adharma), dimana usaha manusia
untuk memenangkan salah satunya merupakan kunci dari keberadaan manusia itu
sendiri di alam selanjutnya[3]
apakah ia akan memperoleh kebahagian abadi (nirbhaya) pada tingkatan
alam yang lebih tinggi ataupun mengalami kesengsaraan selamanya pada alam bawah
tempat kesengsaraan abadi berada seperti yang dijelaskan dalam salah satu
manuskrip mahabarata pada bagian baghawatgita yang menjadi salah satu
rujukan kearifan masyarakat jawa pada masanya.[4]
2.
Keberadaan
“mustaka” atau lambang mahkota diatas puncak atap ke tiga[5]
merupakan simbolisasi keberadaan ”Sang Sangkan Paraning Dumadi” atau
eksistensi Dzat Tuhan sebagai sumber segala sesuatu yang ada.
Keberadaan mustaka pada puncak atap
ketiga masjid memberikan simbolisasi bahwa Tuhan sang Pencipta (Allah SWT)
merupakan dzat yang tertinggi dan dan penciptaan seluruh alam serta benda yang
ada berada di bawah kreasinya, sehingga Ia bersifat eternal atau tidak terikat
oleh dzat yang diciptakannya atau tidak
terikat oleh waktu, materi, dan ruang karena pada dasarnya Beliaulah yang
menciptakan hal tersebut.
3.
Saka atau
tiang tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat
sayap ditengahnya yang nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu
dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun
pendirian masjid tersebut.
Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah
empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka
tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan
satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi
empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi.
Saka tunggal itu perlambang bahwa orang
hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan
berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
Empat mata angin itu berarti bahwa hidup
manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam,
jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila
tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh.[6]
4.
Keberadaan
“Usuk Sorot” sebagai rangka penyangga atap yang disangga oleh tiang
utama[7],
dengan bentuk seperti jari-jari payung atau yang disebut juga sebagai peniyung
merupakan bentuk simbolisasi perlindungan agama ataupun Negara terhadap
orang-orang yang ada dilamanya yaitu ummat ataupun rakyatnya.
5.
Keberadaan
ornamen Praba Makara[8]
(hiasan menyerupai rahang atas buaya) pada bentuk orisinal Masjid Saka Tunggal
di setiap sisi luar atapnya merupakan simbolisasi kewibawaan agama dan negara
terhadap rakyatnya.
Selain nilai filosofi simbolik yang ada pada
bagian-bagian yang melekat dalam bentuk arsitektur masjid saka tunggal,
keberadaan didirikannya masjid tersebut di pinggiran hutan pada waktu itu juga
merupakan sebuah simbolisasi nilai kearifan lokal masyarakat jawa tentang apa
yang disebut dengan “Tri Hita Karana” yaitu kewajiban menjalin hubungan
baik antara manuia dengan sesamanya, alam sekitar dan kepada Sang penciptanya,
sehingga interprestasi tujuan dibangunnya masjid ini pada wilayah itu ialah
agar, orang yang beribadah didalamnya dapat merasa khusyuk dan menyadari akan
peranannya sebagai manusia sekaligus Khalifatullah fil ardl (pengelola dunia) dengan baik dan benar.
Oleh karena itu, masjid dengan karakteristik wilayah
seperti tersebut sering pula disebut sebagai masjid penepen atau secara
harfiah “menepi dari keramaaian duniawi[9]
guna memperoleh ketenangan dalam beribadah yang cocok dengan suasana lingkungan
disekitar masjid itu sendiri yang sunyi dan tenang.
Semoga bermanfaat..
Salam Hangat Jotako7
Jurnal Of Trust And Kaleidoscopic Obsession
Jujur Omongane, Tawadhu’ Akhlake, Kualitas Obrolane
[1] “Hal ini merupakan implikasi dan pengaruh dari salah satu elemen
dasar manusia dalam mengilhami sebuah pembangunan bangunan tertentu yaitu pembangunan
sebuah bangunan tertentu untuk fungsi tertentu diwujudkan sesuai kondisi
alam lingkungan sekitar dan diproyeksikan melalui jangka waktu tertentu”
Laksmi G Siregar, Makna Arsitektur; Suatu Refleksi Filosofis, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2008) hlm.54.
[2] Jero Mangku Dharma Susena, “Panduan Yagna dan Pendirian Pura” (Jakarta:
Katalog Pura Aditya Jaya)
[3] I Nyoman Kajeng, DKK, “Sarasmuccaya;Dengan Teks Bahasa
Sansekerta dan Jawa Kuna” (Surabaya: Penerbit Paramita, 2005) hlm. 362 pada
pembahasnnya tentang “Moksa”.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
Penerbit PT Rajagrafindo Persada, 2007),hlm. 305.
[6] http/masjidsaka_tunggal//html.
[7] Yulianto Sumalyo, Arsitektur
Masjid dan Monumen..., hlm. 521.
[8] Tim
Pembaharuan dan Penerbitan Mushaf al-Qur’an Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Buku
Panduan Ilustrasi Mushaf Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Bogor: Penerbit
Lembaga Percetakan al-Qur’an Kementrian Agama RI, 2011),hlm. 55.
[9] Tim
Pembaharuan dan Penerbitan Mushaf al-Qur’an Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Buku
Panduan Ilustrasi Mushaf Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Bogor: Penerbit
Lembaga Percetakan al-Qur’an Kementrian Agama RI, 2011), hlm. 55.
Post a Comment for "Nilai Budaya Pada Bangunan Masjid Saka Tunggal Cikakak"