Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Awas! Barang Haram Jangan Diberikan Orang Lain



By: Ibnu Kharis Jotako 7

Artikel ini merupakan hasil tugas mata kuliah qawa’id fiqhiyyah dengan Dosen Pengampu : Drs. H. Ansori, M.Ag. Masyarakat baik orang awam maupun yang sudah pandai pun terkadang lupa atau lalai dalam mentransaksikan harta yang dimilikinya. Karena harta yang kita dapat belum 100% halal sebagaimana yang kita tahu. Oleh karenanya kita mesti berhati-hati terhadap hasil pendapatan yang kita peroleh.Seyogyanya kita bisa membedakan antara pendapatan halal maupun non halal. Karena terdapat aturan yang mengatur hal tersebut. Berikut Penjelasannya:

A.    Kaidah
ما حرم أخذه حرم إعطاءه adalah apa yang haram diambilnya haram pula diberikannya.[1] Kaidah yang serupa maknanya dengan kaidah ini adalah ما حرم فعله حرم طلبه yang artinya apa saja yang haram dikerjakan maka haram pula menuntutnya.[2]
B.    Dasar Hukum
Kaidah ini merupakan kaidah umum dari kaidah fikih, dimana landasan hukumnya adalah firman Allah:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  

Artinya: Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.[3]

Kemudian hadis nabi yang berbunyi:
الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات

Artinya: Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, diantara keduanya ada hal-hal yang meragukannya.[4]

C.   Aplikasi/Contoh  Penerapan Kaidah
1.    Korupsi dan Suap
Atas dasar ketentuan kaidah ini, hukumnya haram memberikan hasil korupsi dan suap. Sebab, perbuatan yang demikian itu bisa dikategorikan tolong menolong dalam hal yang mungkar/dilarang.[5]
Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Yang perlu dikritisi di sini ialah orientasi keberagamaan kita yang menekankan kesalehan ritual-formal dengan mengabaikan kesalehan moral-individual dan sosial. Model beragama seperti ini memang sulit untuk dapat mencegah pemeluknya dari perilaku-perilaku buruk, seperti korupsi. Padahal dalam perspektif ajaran Islam, korupsi merupakan perbuatan terkutuk, karena dampak buruk yang ditimbulkannya bagi suatu masyarakat dan bangsa sangatlah serius.[6]
Kata korupsi sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang sekarang ini berasal dari bahasa Inggris corruption. Sebetulnya kata corruption tersebut berasal dari kata dalam bahasa Latin “corruptus” yang berarti “merusak habis-habisan”. Kata ‘corruptus’ itu sendiri berasal dari kata dasar corrumpere,  yang tersusun dari kata com (yang berarti ‘menyeluruh’) dan rumpere yang berarti merusak secara total kepercayaan khalayak kepada si pelaku yang tak jujur itu. [7]
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha>’ berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak benar (aklu amwa>l al-na>s bi al-ba>t}il) seperti yang diharamkan dalam al-Qur’an, tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrup), maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau menyuap. Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya paling mirip substansinya dengan korupsi ialah g}ulu>l yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang dan risywah atau yang biasa dikenal dengan istilah suap.[8]
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (’ada>lah), akuntabilitas (al-ama>nah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang  juga amat dikutuk Allah Swt.[9]
Menurut terminologi Fikih, Risywah (suap) adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan)nya atau agar ia mengikuti kemauannya. Sedangkan menurut Ibnu Nadim Risywah adalah segala sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya untuk memutuskan suatu perkara atau membawa (putusan tersebut) sesuai dengan keinginannya (yang memberi). Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan Rasulnya sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ ، عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ " . قَالَ أَبُو عِيسَى : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ . جامع الترمذي لمحمد بن عيسى الترمذي.

Artinya: Telah menceritakan padaku Abu Musa Muhammad Bin al-Mutsana, telah menceritakan padaku Abu ‘Amir Al-Aqdiy, telah menceritakan padaku Ibnu Abi Dzinbin, dari Al-Harits Bin Abdurrohman pamannya, dari Abi Salamah, dari Abdulloh Bin Umar, ia berkata : Rosululloh SAW. Melaknat orang yang menyuap dan orang yang di suap. (HR. Tirmidzi).[10]

Dari uraian mengenai korupsi dalam bentuk risywah/suap, maka dapat disimpulkan bahwa Islam telah melarang tindakan korupsi baik berbentuk ghulul maupun suap. Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk نص قطعي mengenai hukuman bagi koruptor, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku korupsi. Adapun pelaku yang melalukan korupsi dapat dihukum ta’zir sesuai dengan tingkat kejahatannya.[11]
2.    Upah Profesi Dukun (Paranormal) dan Tukang Seruling
Seseorang yang berprofesi sebagai dukun (paranormal) yang mengobati dan membantu orang sakit, memberi jampi-jampi dengan menggunakan mantra, guna-guna yang bertentangan dengan syari’at islam hukumnya haram membelanjakan dan memberikan uang hasil pekerjaannya tersebut.
Pada zaman Islam dahulu, tukang seruling dan penabuh gendang dilarang melakukan profesinya karena lagu dan nyanyiannya bisa mendatangkan syahwat dan birahi orang untuk maksiat. Sehingga uang upah yang didapatkan dari pekerjaannya tersebut haram digunakan untuk dibelajakan dan untuk memberi pada orang lain karena uang tersebut berasal dari hal yang haram untuk mendapatkannya.[12]
3.    Mencuri untuk menolong/membantu rakyat
Pada sejarah awal mulanya islam masuk ke tanah jawa, ada seseorang putra raja yang bernama raden syahid (kelak nantinya yang menjadi sunan kalijaga). Alkisah ia seorang diri gelisah akan kondisi rakyat pimpinan ayahnya yang tidak amanah terhadap rakyatnya, banyak yang kelaparan, sakit, dan derita-derita yang lain akan tetapi sang raja acuh dan terkesan menyakiti rakyatnya.
Melihat kondisi yang semacam itu raden syahid gusar dan ingin membantu rakyatnya, akhirnya ia memutuskan untuk mencuri barang-barang milik kerajaan untuk diberikan kepada masyarakat secara diam-diam. Satu dua kali ia bisa mencuri tanpa ketahuan, tetapi di kesekian kalinya aksi pencurian diriya diketahui oleh sunan bonang dan akhirnya dihentikan. Sunan bonang memberikan nasihat kepadanya: “walaupun tujuanmu itu menolong rakyat, tetapi barang yang kamu berikan adalah dari barang curian, sementara mencuri itu tidak diperbolehkan sehingga kamu menolong dengan barang yang haram. Ingatlah, apa yang haram diambil maka haram pula memberikannya. Ibarat kamu hendak mencuci pakaian putih akan tetapi yang kamu gunakan adalah air yang keruh lagi menjijikan dan kotor, lalu apakah pakaian itu akan menjadi bersih?”. Setelah mendapat nasihat itu maka ia bertaubat.
Dari sepenggal kisah diatas kaidah ini memanglah masih sangat relevan terhadap realitas zaman sekarang ini. Dan pada dasarnya, kaidah ini memberikan poin penting akan tidak diperbolehkannya memberikan barang haram dari sesuatu yang sifatnya haram.
D.   Analisis Kaidah
Kaidah fikih merupakan kaidah-kaidah yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fikih, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya. Oleh karena itu kaidah fikih yang bersifat أغلبي  (kebanyakan) dan كلي  (universal) memiliki إستثناء (pengecualian-pengecualian).[13] Diantaranya adalah diperbolehkannya memberikan suap kepada hakim untuk mencapai haknya dari orang yang dzalim, diperbolehkan memberikan uang atau harta dari orang yang dzalim karena khawatir apabila tidak dilaksanakan ia akan diserang oleh orang dzalim tersebut. dll.[14]
Dalam kitab شرح الفرائد البهية فى القواعد الفقهية karya hadratus syaikh Haris Dimyati at-Tarmasi, dijelaskan 40 kaidah cabang, dan kaidah ini berada pada kaidah cabang yang ke-27, yaitu:
ما حرم فعله حرم طلبه
Artinya: apa yang haram diambilnya haram pula diberikannya.

Permasalahan duniawi sangatlah kompleks seiring perubahan zaman dan waktu. Problematika kontemporer dalam bidang politik, hukum, muamalah teruslah bermunculan, adanya kaidah ini berfungsi sebagai pengawas dari problematika-problematika tersebut. Walaupun kaidah fikih ini tercetus semenjak abad IV H yang lalu, terbukti hingga sekarang masih sangat relevan fungsinya. Skandal Nepotisme, Kolusi, Korupsi, Suapyang sekarang menjadi problem di berbagai negara khususnya Indonesia sudah sepantasnya terkikis dan hilang apabila telah mengetahui, memahami dan mempraktikan kaidah ini.
Selain itu praktik-praktik kontradiktif dengan norma agama yang menjadi profesi harian masyarakat seperti paranormal, dukun, penipu, penjambret, pemutar musik di klab malam haruslah ditinggalkan. Karena upah dan hasilnya adalah harta haram yang tidak boleh mereka konsumsi dan juga memberikannya kepada orang lain. Rasulullah Saw. bersabda:
الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات
Artinya: Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, diantara keduanya ada hal yang meragukan.

Suatu transaksi yang didasarkan pada sesuatu yang haram dan syubhat yang melanggar norma agama, akan menjadi tidak baik atau tidak berkah.


E.    Kesimpulan
Kaidah cabang ini adalah penting untuk diketahui oleh banyak orang, karena menyangkut muamalah pergaulan semua orang dari semua lini. Inti ajaran kaidah ini adalah tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan haknya, yang haram dan yang tidak disukai oleh Allah, karena hasil dari pekerjaan tersebut haram pula untuk dibelanjakan dan di berikan walaupun untuk berbagi, sedekah, untuk yatim piatu sekalipun. karena pesan Allah: “jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemah New Cordova, 2012. Q.S. Al-Maidah [5]: 2, Bandung: Syamil Quran.
Andiko, Toha, 2011, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah: Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer Yogyakarta: Teras.
At-Tarmasi, Haris Dimyathi, t.t., Syarh} Al-Fara>id al-Bahiyyah fi> al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah Pacitan: PIP. Tremas.
Djazuli, 2006, Kaidah-kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis Jakarta: Kencana.
Imam bukhari, muslim, t.t., Sahih Bukhari Muslim Beirut: dar al fikr.
Kharis, Ibnu, 2012,  Takhrij Hadis Korupsi dan Suap Purwokerto: makalah tidak diterbitkan.


Salam Hangat Jotako7
Jurnal Of Trust And Kaleidoscopical Obsession
Jujur Omongane, Tawadhu’ Akhlake, Kualitas Obrolane




[1] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 106.
[2] Haris Dimyathi At-Tarmasi, Syarh} Al-Fara>id al-Bahiyyah fi> al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah (Pacitan: PIP. Tremas, t.t), hal. 109.
[3] lihat Al-Quran dan Terjemah New Cordova, Q.S. Al-Maidah [5]: 2 (Bandung: Syamil Quran, 2012), hal. 106.
[4] Ibid., hal. 87. lihat pula imam bukhari, muslim, Sahih Bukhari Muslim, (Beirut: dar al fikr, t.t.), hal.
[5] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 97.
[6] Ibnu Kharis, Takhrij Hadis Korupsi dan Suap (Purwokerto: makalah tidak diterbitkan, 2012), hal. 1-2.
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid, hal. 6.
[11] Ibid, hal. 13.
[12] Haris Dimyathi At-Tarmasi, Syarh} Al-Fara>id al-Bahiyyah fi> al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah (Pacitan: PIP. Tremas, t.t), hal. 109.
[13] Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah: Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 6-7.
[14] Haris Dimyathi At-Tarmasi, Syarh} Al-Fara>id al-Bahiyyah fi> al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah (Pacitan: PIP. Tremas, t.t), hal. 108.

Post a Comment for "Awas! Barang Haram Jangan Diberikan Orang Lain"