Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bagaimana Sih Ekonomi Politik Kemiskinan di Indonesia?



By: Ibnu Kharis Jotako7

Introduction

            Semua akan sepakat dengan pernyataan kemiskinan bukanlah tragedi kemanusiaan akibat kejahatan alam seperti terjadinya angin puyuh, banjir bandang, dan kemarau panjang yang mengakibatkan datangnya pengungsi, munculnya penyakit menular dan kekurangan pangan. Kemiskinan disini tidak ada sangkut dengan kejadian-kejadian itu. Hal yang berbeda tentu harus dilekatkan pada komunitas kemiskinan sesungguhnya, dimana kerumunan multi-tuna ini tidak akan serta merta hilang jika bantuan material diberikan, atau bahkan jika bimbingan dan penyuluhan dijadikan kurikulum untuk menambal kekurangan keterampilan.[1]

Secara geografis, konsentrasi jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 berada di wilayah Jawa, terutama di Jawa Barat (4,4 juta jiwa), Jawa Tengah (4,9 juta jiwa) dan Jawa Timur (5,0 juta jiwa). Diluar ketiga provinsi tersebut masih terdapat provinsi-provinsi lain dengan jumlah penduduk miskin lebih  dari 1 juta orang, yaitu di Provinsi Sumatera Utara (1,4 juta jiwa), Sumatera Selatan (1,0 juta jiwa), Lampung (1,2 juta jiwa) dan Nusa Tenggara Timur (1,0 juta jiwa).[2] 

Indonesia dengan segala regulasi yang ada, ternyata membawa korban keranah yang terpojokkan karena peraturan tersebut (UU No. 2 Tahun 2004). lihatlah buruh, nasibnya selalu buruk disetiap rejim, lalu kota bukanlah tempat bagi si miskin (pasal 504 dan 505 KUHP), kasus lumpur lapindo brantas dan pemerintah setengah hati dalam melakukan pemenuhan HAM terhadap korban lapindo (pasal 15 perpres No. 14/2007) dan banyak lagi kasus-kasus yang menjadikan rakyat miskin secara struktural.[3]

Sirkulasi Ekonomi: Neoklasik vs Kelembagaan

            Secara umum, pandangan neoklasik terhadap pembangunan ekonomi bias diseketsakan seperti berikut. Asumsi awal yang dipakai adalah bahwa faktor produksi (sumber daya : tanah, modal, dan tenaga kerja) itu terbatas. Konsekuensinya, faktor produksi harus seefisien mungkin agar tercapai hasil yang paling optimum. Menurut cara berpikir aliran neoklasik, kegiatan perekonomian digerakan oleh dua sumbu, yaitu investasi dan tabungan.[4]

            Karena model neoklasik mengandaikan adanya pasar kompetitif dan kesempurnaan informasi, maka kegiatan ekonomi menempatkan setiap pelaku ekonomi dalam posisi sejajar sehingga distribusi pendapatan akan terbagi secara proporsional.

            Fenomena kemiskinan bisa dilokalisir menjadi persoalan kelembagaan. Pertama,  tidak ada kesetaraan kekuatan antar pelaku ekonomi. Kedua, ketidak sejajaran kemampuan untuk melakukan “manipulasi” terhadap kebijakan publik. Ketiga, interaksi yang asimetris antara principal dan  agent untuk membuat kesepakatanikatan kerja. Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mendesakkan dan mempengaruhi kebijakan publik. Keempat fenomena tersebut adalah fenomena kelembagaan yang terjadi pada hampir semua Negara, yang pada akhirnya meletakkan pelaku ekonomi dalam dua sisi: sebagai pemenang atau pecundang. Ekstremnya, pemenang mengambil semuanya dan pecundang tidak mendapat secuilpun (zero sum game). Dengan dasar inilah persoalan kemiskinan dan bukan dasar ketimpangan muncul ke permukaan.[5]

            Sirkulasi ekonomi menurut cara pandang ekonomi kelembagaan kurang bisa dirunut sebagai berikut. Kegiatan ekonomi selalu melibatkan dua pihak atau lebih, yang jamak ditandai dengan terjadinya transaksi. aliran neoklasik, mengandaikan biaya transaksi tidak ada (zero transaction cost). Berbeda dengan pandangan ekonomi kelembagaan, biaya transaksi  bisa sangat mahal (positive transaction cost). Berikutnya karena informasi yang dimiliki oleh masing-masing pelaku tidak sama (information asymetry) penglihatan aliran neoklasik, maka proses transaksi bertendensi merugikan pihak yang (kurang) mempunyai informasi, baik dalam wujud kontrak yang tidak sempurna (incomplete contract), perilaku menyimpang (opportunism behavior), maupun keterbatasan yang berkenaan dengan olahan informasi (bounded rationality).[6]

Kemiskinan Dari Perspektif Alternatif

            Seperti yang telah disinggung didepan kemiskinan bisa dipandang bukan hanya dalam pengertian subsistensi, tetapi juga dalam pengertian yang relative dan lebih luas. Menurut perspektif ini pertanyaan “Siapa yang miskin?”, bisa dijawab dengan menunjukan berbagai indikator berikut[7]: Depresi materiil, Isolasi, Alienasi, ketidak mampuan,  Kelangkaan asset, Tidak adanya jaminan keamanan.

            Ada empat klausul penyebab atas sulitnya mengurangi kemiskinan, yaitu: Pertama, kekuatan kelompok bisnis dan sektor marginal yang berat sebelah sehingga energi untuk mempengauhi kebijakan menjadi timpang. Kedua, ketidakseimbangan laju perkembangan antar sektor ekonomiakibat preferensi strategi pembangunan ekonomi yang tidak akurat. Ketiga, ketimpangan pembangunan antar sektor ekonomi akibat kegagalan strategi pembangunan. Keempat, asimetri hunbungan antara wilayah perkotaan dan pedesaan akibat kebijakan pemerintah yang memusatkan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan.[8]

Dengan pemetaan tersebut ada dua strategi ekonomi politik untuk mengurangi kemiskinan. Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) melalui pembenahan infrastuktur penyebab kemiskinan melalui jalur politik dengan cara: a) menerbitkan statuta hubungan antar pelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan. b) menata kembali kepemilikan aset produktif yang sangat timpang. c) transparasi dalam pengambilan kebijakan.[9]

Kedua, kebijakan langsung (indirect policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan (poverty reduction). Sebagaimana yang tertera dalam bagan di bawah ini, yang bisa mempengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi dan distribusi (pendapatan) adalah jenis kelembagaan dan kebijakan (ekonomi).[10]

Conclusion

Salah satu pesan dari seluruh uraian diatas, bahwa seluruh kebijakan pragmatis terhadap penanggulangan kemiskinan biasanya akan tercekal di tengah jalan akibat tidak terpeuhinya struktur yang tidak adil kuncinya ada model pemerintahan yang dipilih. di indonesia sistem demokrasi hanya mampu menyodorkan instrumen yang yang memungkinkan aspirasi rakyat bisa terserap sehingga akan muncul kelembagaan formal maupun non formal yang representatif bagi perkembangan kegiatan ekonomi itu sendiri.hal iilah yang memungkinkan munculnya patologi kemiskinan hisa dihindari.[11]

Bibliography

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional April 2013, Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan daerah 2014
Mas’oed Mohtar, 1999. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Puspita Rima Diana dkk., 2008. Bergerak Menuju Perubahan, In-Tran, Malang.
Yustika Erani Ahmad, 2014. Kajian Teoritis dan Analisis Empiris,Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Salam Hangat Jotako7
Jurnal Of Trust And Kaleidoscopical Obsession
Jujur Omongane, Tawadhu’ Akhlake, Kualitas Obrolane


[1] Ahmad Erani Yustika, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 221-222.
[2] Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional April 2013, Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan daerah 2014: Memantapkan Perekonomian Nasional Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan. Hlm. 44.
[3] Rima Diana Puspita dkk., Bergerak Menuju Perubahan (Malang: In-Trans, 2008), hal. 117-148.
[4] Ahmad Erani Yustika, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 222-223.
[5] Ibid., hal. 226-227.
[6] Ibid., hal. 227-228.
[7] Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm, 142.
[8] Ahmad Erani Yustika, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 239-241.
[9] Ibid., hal. 242-243.
[10] Ibid., hal. 244.
[11] Ibid., hal. 246.

Post a Comment for "Bagaimana Sih Ekonomi Politik Kemiskinan di Indonesia?"