Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membaca Keterlibatan Intelejen dalam terciptanya Clash of Civilization


Oleh Agus Sunaryo, M.S.I

dengan  judul asli:
FUNDAMENTALISMA ISLAM DAN KONSPIRASI POLITIK GLOBAL;
(Membaca Keterlibatan Intelejen dalam terciptanya Clash of Civilization)


Disarikan dari buku Devil’s Game; How The United States Helped Unleash Fundamentalist Islam, karya Robert Dreyfuss. Edisi Indonesia, Orchesta Iblis; 60 tahun Amerika-Religious Extremist, alih bahasa Asyhabudin & Team SR-Ins Publishing (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2007).

Selamat menimba Ilmu..

A.     Pendahuluan

Melalui karya fenomenalnya Devil’s Game, Robert Dreyfuss berhasil secara cemerlang melakukan upaya “pembongkaran” terhadap hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk disingkap, sakral dan bahkan tidak sedikit yang meyakininya hanya sebagai ilusi politik. Dreyfuss, melalui rihlah akademik-jurnalistiknya yang melelahkan, telah mampu meyakinkan banyak orang terkait dengan perselingkuhan berapa badan intelejen serta konspirasi politik-ekonomi internasional dengan gerakan fundamentalisme serta terorisme Islam.

Apa yang dilakukan oleh Dreyfuss nampaknya merupakan proyek akbar yang melibatkan banyak sekali pihak. Keterlibatan langsung pihak-pihak tersebut dengan instansi, organisasi maupun kelompok-kelompok yang menjadi isu sentral Devil’s Game semakin memberi daya tarik tersendiri bagi karya tersebut dan sekaligus menjadikannya sebagai salah satu referensi penting dalam khazanah keislaman abad ini, khususnya dalam kajian fundamentalisme Islam.

Berangkat dari latar belakang penulisnya yang seorang jurnalis, Devil’s Game mampu menyajikan beragam data yang tidak semua orang dapat memperolehnya. Dari semua data yang diperoleh, baik data dari laporan Intelejen, wawancara langsung dangan berbagai pihak maupun kutipan dari beberapa karya terdahulu, Devil’s Game menyimpulkan bahwa kepentingan politik-ekonomi Amerika Serikat dan beberapa sekutunya ikut menumbuh-suburkan gerakan Islam radikal dan terorisme di seluruh penjuru dunia. Kebencian kaum radikalis Islam terhadap komunisme-ateis dimanfaatkan sedemikian rupa oleh Amerka Serikat untuk menghadang pengaruh Uni Soviet di gurun pasir Timur Tengah, termasuk juga negera-negara berhaluan sosialis marxis lainnya. Lebih dari itu, seperempat kekayaan minyak dunia yang tersimpan di kawasan tersebut menjadi faktor paling dominan skenario Clash of Cicilization Amerika berikut pernak-pernknya.

Untuk bisa menghasilkan kesimpulan seperti disebutkan diatas, bukanlah perkara mudah. Dalam hal ini, Dreyfuss menggunakan beberapa teori dan pendekatan yang lazim dalam setiap penelitian ataupun karya ilmiah. Di antara teori yang digunakan adalah teori Clash of civilization (Benturan Peradaban). Adapun mengenai pendekatan yang digunakan, Dreyfuss nampaknya memilih pendekatan historis, sosiologis dan hermeneutika sosial.[1] Dengan ketiga pendekatan ini, Dreyfuss mencoba menampilkan gaya berfikirnya yang tajam, lugas dan objektif mengenai isu Devil’s Game.

B.     Academic Crisis (Kegelisahan Akademik)

Persoalan mendasar yang dijumpai oleh Dreyfuss sehingga dia menulis Devil’s Game adalah tidak tercovernya skenario Amerika serikat dalam kajian mengenai sejarah dunia pasca perang dingin serta isu-isu fundamentalisme Islam. Padahal pengaruh tersebut begitu kuat dalam mendorong tumbuh serta berkembangnya gerakan fundamentalisme Islam. Selain itu, menganggap fenomena fundamentalisme Islam serta fundamentalisme agama lain, khususnya Kristen, tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan skenario Amerika tersebut, nampaknya akan semakin menarik keluar persoalan dari akar permasalahan sebenarnya.

Persoalan lain yang ditemukan oleh Dreyfuss adalah bahwa skenario yang dimainkan oleh negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Inggris begitu sistematis, rapi dan terkadang rahasia (secreet operation). Hal ini dengan tanpa sadar telah membawa umat Islam pada situasi yang rumit, terutama ketika dihadapkan pada gagasan pembaharuan (Afghani-Abduh), gerakan pemurnian (Wahabi) atau nasionalisme ala Naseer. Sangat sedikit di antara umat Islam yang tahu serta mampu untuk membedakan mana di antara gerakan-gerakan tersebut yang murni berlandaskan doktrin agama dan mana pula yang telah ternoda dengan muatan politis.

Beberapa permasalahan di atas, telah berhasil memantik semangat Dreyfuss untuk melakukan sebuah penelitian dalam rangka mengisi missing link kajian fundamentalisme Islam vis a vis politik ekonomi Amerika. Paling tidak, melalui pengembaraan sejarahnya sejak Amerika masih menganggap asing dan aneh kawasan Timur Tengah (tahuan 1870-an) sampai terjadinya tragedi WTC 11 september, Dreyfuss menemukan banyak sekali bukti bahwa perselingkuhan antara Amerika Serikat dan para sekutunya serta beberapa pemimpin Timur Tengah itu benar-benar ada. Hal ini semakin membuat kegelisahan Dreyfuss memuncak sampai akhirnya dia melakukan upaya eksploratif-sosiologis dalam mencari keterkaitan atau keterlibatan beberapa agen intelejen Internasional atas terjadinya serangkaian insiden politik-keagamaan ekstrim di kawasan Timur Tengah dan negara-negara lain yang secara tidak langsung ikut menohok keberadaan mayoritas muslim.

C.     Pentingnya topik penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Dreyfuss menemukan titik urgensitasnya terutama dalam menjawab beberapa pertanyaan mendasar seputar isu fundamentalisme Islam kontemporer. Pertanyaan tersebut berkisar pada:

1.      Bagaimana sejarah lahir dan berkembangnya fundamentalisme Islam kontemporer
2.      Benarkah gagasan mengenai fundamentalisme Islam itu murni ajaran agama atau barangkali ada unsur-unsur lain yang justru lebih kuat dalam mendorong lahir dan berkembangnya fundamentalisme Islam dari pada ajaran agama itu sendiri?
3.      Siapa saja pihak-pihak yang memungkinkan untuk berkontribusi atau bahkan berkonspirasi dalam proses perjalanan fundamentalisme Islam dalam tata kehidupan internasional.
4.      Apa sebenarnya yang menjadi grand desain negara-negara Barat di balik propaganda memerangi terorisme dan menanamkan demokrasi di kawasan Timur Tengah?

Berdasarkan beberapa pertanyaan di atas, Dreyfuss sampai pada kesimpulan penting yang mengingatkan semua orang bahwa persoalan mengenai fundamentalisme Islam bukanlah perkara “ecek-ecek” yang bisa diselesaikan hanya dengan memahami satu atau dua bahan bacaan semata. Dari temuan Dreyfuss bisa ketahui bahwa:

Pertama, terdapat kontribusi yang signifikan dari agen-agen internasional, seperti CIA (Amerika Serikat), MI-6 (Inggris), ISI (Pakistan) dan badan intelejen Saudi Arabia di bawah komando Pangeran Turki al-Faisal dalam memobilisasi radikalisme internasional untuk meruntuhkan hegemoni Uni Soviet.

Kedua, gerakan fundamentalisme, baik dalam Islam maupun Kristen, memiliki hubungan (relasi) yang bersifat mutualis dengan para penguasa yang berafiliasi secara politik dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Ketiga, skenario clash of civilization yang dilaunching oleh Bernard Lewis dan Samuel Huntington hanyalah rekayasa Amerika Serikat untuk memposisikan Islam dan Barat secara konfrontatif. Bahkan, skenario ini oleh Inggris sudah mulai dirintis sejak eranya the godfather of al-Ikhwanu al-muslimun, Jamaluddin al-Afghani. Anggapan Dreyfuss ini didasarkan pada bukti bahwa ketiga orang tersebut memiliki hubungan erat dan istimewa dengan agen Amerika Serikat beserta sekutunya.

Terakhir, Dreyfuss juga berhasil mengungkap bahwa motif ekonomi dan politik cenderung lebih dominan dari pada tujuan menanamkan nilai-nilai agama dalam hampir semua gerakan fundamentalisme Islam.

D.    Prior Research on Topic

Tanpa mengurangi arti penting dari penelitian Dreyfuss, sejumlah penelitian memang pernah dilakukan terkait dengan isu Fundamentalisme Islam, di antaranya adalah:

Karya Elie Kedourie, Afghani and Abduh; an Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam. Dreyfuss menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi utama ketika melakukan analisis terhadap keterlibatan Barat dalam proyek lahirnya fundamentalisme Islam, khususnya al-Ikhwan al-Muslimun. Berdasarkan buku ini pula Dreyfuss berkesimpulan bahwa baik Jamaluddin al-Afghani maupun Muhammad Abduh telah menjalin simbiosis mutualisme dengan Inggris melalui proyek al-Ikhwanu al-Muslimun.

Secara lebih spesifik mengenai al-Ikhwan al-Muslimun, Richard P. Michel juga telah menulis, The Society of The Muslim Brothers yang oleh Dreyfuss juga dijadikan referensi utama ketika membaca sepakterjang organisasi persaudaraan tersebut dalam dinamika gerakan fundamentalisme Islam. Adapun mengenai gerakan Wahabi, Dreyfuss banyak mengutip karya Hamid Alghar, Wahabism: A Critical Essay serta karya John Esposito, Unholy War: Terror in the Name of Islam

Karya lain yang banyak menginspirasi Devil’s Game adalah Taliban: Militant Islam, Oil, and Fundamentalism in Central Asia, oleh Ahmad Rasyid. Secara jujur, Dreyfuss mengakui bahwa karya Rasyid tersebut merupakan laporan yang paling tajam dan terpercaya mengenai pembentukan, pertumbuhan dan kemengan Taliban atas pemerintahan Afghanistan. Selain itu, keterlibatan Arab Saudi dan Amerika Serikat dalam kemenangan Taliban menjadi fakta yang tak terbantahkan dan sekaligus membuktikan betapa hegemoni dua kekuasaan ini begitu kuat, bahkan sampai di wilayah Afghanistan (Asia Tengah).

Selain beberapa karya di atas, masih banyak karya lain sebelum Devil’s Game yang dijadikan rujukan oleh Dreyfuss dalam menyusun penelitiannya. Ini membuktikan bahwa Devil’s Game bukanlah karya pertama mengenai fundamentalisme Islam. Namun demikian, ada keistimewaan tersendiri yang dimiliki oleh karya Dreyfuss tersebut, yaitu terkait dengan data yang disajikan. Dreyfuss berhasil menyajikan data yang benar-benar “fresh”, “genuine” serta spektakuler, sesuatu yang tidak bisa didapatkan dalam karya-karya lain yang sejenis. Selain itu, keberanian Dreyfuss dalam mengkritik pemerintah Amerika Serikat yang menjalin hubungan gelap dengan gerakan fundamentalisme Islam nampaknya mampu memposisikan Devil’s Game pada level istimewa di antara karya-karya mengenai fundamentalisme Islam.

E.     Aproach and Teoritical Frame Work

Penelitian yang dilakukan oleh Dreyfuss nampaknya menggunakan tiga pendekatan sekaligus, yaitu: pendekatan historis, sosiologis dan hermeneutika sosial (interpretatif sosiologis) yang menitik tekankan pada upaya-upaya pemahaman (verstehen). Ketiga pendekatan ini diramu secara sirkular dalam sebuah studi kawasan mengenai gerakan fundamentalisme Islam serta skenario Amerika Serikat dalam menumbuhkembangkan gerakan tersebut sebagai upaya politis untuk membungkam pengaruh Uni Soviet (Rusia) di wilayah Timur Tengah, sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomis dari ladang minyak di kawasan tersebut.

Pendekatan historis digunakan oleh Dreyfuss dalam penelitiannya terutama ketika ia mulai memetakan akar persinggungan antara Islam dan Barat yang di mulai sejak era pertarungan dua kekuatan imperial, yaitu Inggris dan Rusia (Uni Soviet), dalam memperebutkan kekuasaan di Asia tengah pada tahun 1880-an.

Babak selanjutnya ditandai dengan masuknya pengaruh Amerika Serikat untuk menggantikan kekuatan Inggris di Timur Tengah yang mulai melemah, terutama saat terjadinya perang dunia II. Pada tahun1945, terjadi pertemuan penting antara presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Rosevelt dengan raja Abdul Aziz bin Saud. Pertemuan kedua kepala negara tersebut sekaligus menandai awal kerjasama yang dibangun oleh dua kekuatan besar dunia. Saudi Arabia sebagai negara adikaya dengan kekayaan minyak yang melimpah, dengan Amerika Serikat yang adikuasa dengan kekuatan militer serta pengaruh yang dimilikinya.

Bertolak dari kerjasama Arab Saudi dan Amerika Serikat di atas, Dreyfuss kemudian mulai melacak keterlibatan Amerika Serikat beserta sekutunya dalam berbagai aktifitas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam fundamental, baik di Arab Saudi, Mesir, Iran maupun Afghanistan. Bahkan, aktifitas gerakan Islam fundamentalis di Amerika Serikat juga tak luput dari pegamatan Dreyfuss. Walhasil, tragedi 11 September WTC (World Trade Centre) yang diikuti dengan penyerangan terhadap Iraq dan Afghanistan, mengakhiri kronologis sejarah perselingkuhan antara Amerika Serikat dengan gerakan Islam Fundamentalis.

Adapun pendekatan sosiologis digunakan oleh Dreyfuss untuk mencari akar-akar sosiologi kemunculan gerakan fundamentalisme serta motif apa dibalik semangat Amerika untuk turut serta menunbuhkembangkan gerakan tersebut. Selain itu, pengaruh keberadaan fundamentalisme Islam dalam tatanan politik global juga didekati oleh Dreyfuss dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Satu hal yang juga tidak kalah penting dalam hal ini adalah bahwa doktrin agama, secara sosiologis, ternyata juga turut memberi andil terhadap cara pandang serta aktifitas seseorang yang kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan massif seperti al-ikhwan al-muslimun, wahabi dan lain sebagainya.

Dengan kacamata sosiologis, Dreyfuss melihat bahwa kemunculan fundamentalisme Islam di tanah Arab tidak bisa tidak, terkait erat dengan suhu politik global kala itu. Pertarungan kaum imperialis untuk memperebutkan negara kaya minyak tersebut serta pengaruh Turki yang kala itu mulai melemah, seolah menjadi pemantik lahirnya gerakan fundamentalisme Islam.

Sebagai penjajah yang lihai dalam melakukan berbagai manipulasi, Inggris mencoba taktik baru dengan membangkitkan spirit revivalisme Islam, yang tidak lain ditujukan untuk meruntuhkan dominasi Rusia (Uni Soviet) di kawasan tersebut. Dalam hal ini, Inggris memanfaatkan beberapa koleganya yang dipandang mampu untuk memuluskan jalan mereka, dan tokoh Jamaluddin al-Afghani sering disebut sebagai pioneer yang dimanfaatkan oleh Inggris di dalam proyek revivalisme Islam. Melalui tangan serta pengaruh al-Afghani, fundamentalisme Islam seperti menemukan garis geneologisnya. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, Said Ramadhan, Abu al-A’la al-Maududi sampai Osamah bin Laden, semua memiliki geneologi ideologis sampai ke Jamaluddin al-Afghani. Mereka inilah yang kemudian mendirikan organisasi Islam fundamentalis seperti Pan Islamisme, al-Ikhwan al-Muslimun, Jama’ati Islam serta al-Qaedah.

Model analisis dengan pendekatan sosiologis sebagaimana dilakukan oleh Dreyfuss, nampaknya lazim dilakukan oleh pemerhati masalah fundamentalisme Islam. Sebagai pembanding, Oliver Roy juga menggunakan pendekatan serupa ketika meneliti gerakan fundamentalisme Islam di Mesir. Dalam penelitiannya, Roy berkesimpulan bahwa fenomena fundamentalisme Islam tidak bisa begitu saja mengabaikan aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya, terutama gelombang modernisasi yang dihembuskan oleh negara Barat. Selain itu, pengaruh modernisasi terhadap pola hidup masyarakat Mesir yang cenderung hedonistik dan konsumtif, nampaknya menjadi pemicu terjadinya kelas-kelas ekonomi yang berujung pada terjadinya gelombang unjuk rasa dan kerusuhan berskala besar dari masyarakat miskin kota yang menuntut keadilan dan kesejahteraan.[2]

Satu lagi pendekatan yang nampaknya juga digunakan Dreyfuss dalam penelitiannya, yaitu pendekatan Hermeunetika sosial (interpretatif sosiologis). Dalam hal ini metode verstehen (pemahaman) menjadi landasan pijak bagi Dreyfuss dalam memahami fenomena fundamentalisme Islam serta intervensi kaum kolonialis dalam menumbuhkembangkan gerakan tersebut. Dengan hermeneutika sosial, Dreyfuss mencoba agar unsur-unsur penting dalam pesan yang ingin disampaikannya tidak terdistorsi dan tetap terjaga subyektifitasnya. Unsur-unsur dimaksud meliputi: fakta historis-sosiologis, pelaku sejarah dan peneliti.

Pendekatan hermeneutika sosial ini dilakukan oleh Dreyfuss terutamanya ketika dia memberikan data, misalnya, bahwa dibalik tawaran Pan-Islamisme dari Jamaluddin al-Afghani, terdapat faktor lain diluar doktrin agama. Kepentingan Inggris atas semenanjung Arab tidak bisa diabaikan begitu saja dalam memahami gagasan Pan Islamisme tersebut. Menafikan kepentingan Inggris dalam konteks Pan Islamisme sama halnya dengan melakukan upaya distortif dalam kajian fundamentalisme Islam yang jauh dari unsur obyektif. Contoh lain dapat dilihat ketika Dreyfuss berhasil menguak data yang menyebutkan bahwa tumbuh suburnya gerakan Wahabi di Saudi Arabia adalah karena dukungan kuat pemerintah Saudi yang memiliki afiliasi, baik politik, militer dan ekonomi dengan pemerintah Amerika Serikat. Membaca fenomena Wahabi hanya dari aspek ajaran mereka yang puritan sepertinya hanya akan membuat informasi yang ditampilkan kehilangan akar sejarah dan sosiologisnya.

Selain dengan mengunakan tiga pendekatan di atas (historis, sosiologis dan hermeunetika sosial), Dreyfuss juga mengembangkan sebuah teori yang cukup kontroversial, yaitu teori clash of civilization dari Samuel Huntington dan Bernard Lewis. Berdasarkan teori tersebut, Dreyfuss mencoba membuat kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika, khususnya di era kepemimpinan Bush, sepertinya mengarah pada konspirasi untuk memposisikan Islam secara antagonistik. Invasi Amerika ke Iraq dan Afghanistan, nampaknya tidak bisa dipandang hanya sebagai perang Presiden Bush versus Osamah bin Laden atau Saddam Husein. Melainkan, perang tersebut sudah mengarah pada pertarungan besar antara peradaban Yahudi-Kristen melawan dunia Islam.

Tidak hanya berhenti disini, Dreyfuss juga berkesimpulan bahwa momentum tragedi WTC 11 September seperti dijadikan gerbang pembuka, kalau bukan di skenario, oleh Amerika untuk memuaskan hasrat imperialismenya guna meraih kekuasaan tidak hanya di Iraq dan Afghanistan, melainkan juga di Iran, Syiria, Saudi Arabia dan negara-negara kawasan Teluk lainnya.

Dalam kesempatan yang lain, teori Huntington sepertinya juga diterapkan oleh Amerika dalam menciptakan situasi penuh ketegangan antara Islam fundamentalis dengan kaun nasionalis Islam. Kaum Islam fundamentalis sepertinya menemukan satu kesepahaman dengan pihak Amerika dalam memandang sosialisme marxis yang berujung pada penghapusan ide-ide komunisme Rusia (Uni Soviet) di wilayah Timur Tengah. Hal ini pulalah yang membuat Amerika Serikat begitu bersemangat membantu mereka, baik dari aspek finansial maupun peralatan militer guna menumbangkan pemerintahan Nasionalis Arab yang sekuler. Contoh kongkrit dari persengkokolan ini adalah kemelut yang terjadi pada pemerintahan Mesir di bawah komando Gamal Abdul Naseer.

Teori clash of civilization dalam studi mengenai fundamentalisme Islam nampaknya juga pernah dilakukan oleh Tariq Ali dalam The Clash of Fundamentalism.[3] Satu yang unik dari penelitian Ali adalah bahwa teori benturan Peradaban bisa ditarik dalam situasi rumit antara fundamentalisme Islam dan fundamentalisme agama lain, khususnya Kristen dan Yahudi. Ketiga gerakan fundamentalisme agama ini juga memiliki relasi yang kompleks dengan imperialisme Amerika Serikat. Lagi-lagi persoalan minyak dan perseteruan dingin antara Amerika Serikat sengan Uni Soviet (Rusia) yang menjadi alasan utama relasi tersebut.

F.     Limitation and Key Assumptions

Apa yang dilakukan oleh Dreyfuss dalam Devil’s Game terbatas pada penelitian mengenai fenomena muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan fumdamentalisme Islam kontemporer serta keterlibatan Amerika Serikat beserta para sekutu di dalamnya. Selanjutnya, melihat bahwa penelitian yang dilakukan adalah termasuk studi kawasan, maka Dreyfuss membatasi kajiannya pada wilayah-wilayah tertentu yang menjadi basis fundamentalisme Islam. Wilayah tersebut antara lain, Saudi Arabia, Mesir, Iraq, Iran, Syiria, Libanon, Palestina, Afghanistan dan beberapa wilayah lain di Asia Tengah. Di sini, gerakan fundamentalisme Islam yang terdapat dikawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, tidak mendapat perhatian yang memadai dalam studi Dreyfuss. Dengan demikian, untuk bisa memahami fenomena kemunculan gerakan tersebut di kawasan Asia Tenggara, pembaca sepertinya harus menggali informasi dari buku lain diluar Devil’s Game, dan Negara Tuhan[4] yang diracik oleh SR-Ins nampaknya menjadi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dalam mengisi kekosongan tersebut.

Mengingat begitu luas dan kompleksnya studi yang dilakukan, Dreyfuss memberikan beberapa kata kunci yang bisa dipedomani dalam rangka mempermudah pembaca dalam memahami informasi yang disampaikannya. Kata kunci dimaksud antara lain, Fundamentalism, terorism, CIA, MI-6, think tank, G-wot, Jihad, revolution dan kata lain yang berhubungan.

G.    Kontribution to Knowledge

Penelitian Dreyfuss dalam Devil’s Game memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam pengembangan wacana kesilaman, khususnya tentang politik, perbankan serta fundamentalisme Islam. Bagaimana tidak, Dreyfuss telah berhasil menyajikan informasi berharga dalam membaca keterkaitan antara kemunculan fundamentalisme dan perbankan Islam dengan semangat imperialisme Amerika Serikat beserta sekutunya terhadap kawasan Arab. Motif ekonomi yang berintikan minyak serta perseteruan abadi dengan Uni Soviet juga berhasil dibuktikan oleh Dreyfuss dengan disertai data yang meyakinkan.

Dengan demikian, setelah membaca Devil’s Game seseorang hampir dipastikan bisa melihat persoalan secara lebih jernih, obyektif dan adil terkait dengan wacana fundamentalisme Islam. Tidak ada yang murni agama dalam fundamentalisme Islam, demikian pula dengan propaganda Global War on Terorism (G-Wot) serta demokratisasi kawasan Timur Tengah, keduanya sarat dengan kepentingan politis-ekonomis yang membingungkan serta melibatkan konspirasi dari beberapa negara adidaya.

H.   Sistematika Pembahasan

Agak sulit untuk memetakan pemikiran Dreyfuss secara sistematis dalam Devil’s Game. Namun demikian, karya tersebut seolah mewakili pengembaraan melelahkan yang dilakoni penulisnya, sekaligus menggambarkan emosi yang terpendam dalam benak sang penulis ketika melihat beberapa ketimpangan yang terjadi.

Untuk bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penulis, pembaca sangat disarankan memperhatikan bab demi bab serta melihat keterkaitan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Model penyampaian informasi dalam Devil’s Game bersifat menyatu (integral) dan tersebar dalam setiap bab yang disajikan. Hal ini menuntut pembaca untuk secara utuh dan penyeluruh dalam memahami materi yang disajikan, bahkan tidak menutup kemungkinan dilakukan cara membaca bab per bab.

Dreyfuss memulai perjalanan intelektualnya dengan membuka lembaran sejarah Fundamentalisme Islam yang mengambil bentuk Pan Islamisme, dengan Jamaluddin Al-Afghani sebagai tokoh sentralnya. Di sini, Dreyfuss menemukan bukti bahwa pengaruh Inggris masih mendominasi di kawasan Timur Tengah dari pada Amerika Serikat.[5]

Berangkat dari penelitian mengenai Pan Islamisme, Dreyfuss melanjutkan kajian pada beberapa gerakan fundamentalisme Islam yang merupakan “keturunan ideologis” dari al-Afghani maupun Pan Islamisme. Dalam hal ini, organisasi al-Ikhwan al-Muslimun serta Wahabi sepertinya menjadi objek kedua yang banyak mendapat sorotan dalam Devil’s Game.[6] Perseteruan sengit antara fundamentalisme Islam versus kelompok nasionalis Islam yang pro sosialis marxis nampaknya juga mewarnai babak kedua penelitian Dreyfus, termasuk juga bagaimana dominasi Amerika begitu kuat mendikte skenario politk di kawasan yang sedang bergejolak tersebut (Timur Tengah).

Dalam bab-bab selanjutnya, Dreyfuss mencoba menarik wacana fundamentalisme Islam ke dalam ranah kebangkitan ekonomi Islam. Beberapa lembaga keuangan Islam menjadi objek penelitiannya dan sekali lagi, Dreyfuss ingin membuktikan bahwa intervensi lembaga keuangan Internasional begitu mewarnai gerak laju keuangan Islam.

Pada penghujung Devil’s Game, Dreyfuss mencoba mengelaborasi gagasan Huntington dan Lewis mengenai clash of civilization (benturan peradaban) dalam membaca situasi yang ia tawarkan. Momentum 11 September dijadikannya pilar untuk menganalisa ambisi Amerika Serikat untuk menguasai Timur Tengah dengan segala propaganda penuh ambiguitas, seperti G-Wot dan penanaman Demokrasi di kawasan Timur Tengah.




[1] Disarikan dari buku Devil’s Game; How The United States Helped Unleash Fundamentalist Islam, karya Robert Dreyfuss. Edisi Indonesia, Orchesta Iblis; 60 tahun Amerika-Religious Extremist, alih bahasa Asyhabudin & Team SR-Ins Publishing (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2007).


[1] Model pendekatan ini penulis temukan dalam beberapa buku, di antaranya: Metodologi Penelitian Sosial-Agama, karya Imam Suprayogo. Metodologi Penelitian Agama, karya T Karim Abdullah. Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, karya Komaruddin Hidayat dan Metode Penelitian Sosial, karya Bagong Suyanto.
[2] Lihat Oliver Roy, The Failure of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1996).
[3] Baca Selengkapnya, Tariq Ali, The Clash of Fundamentalism, alih bahasa Hodri Ariev (Jakarta: Paramadina, 2004).
[4] Lihat Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abiveiro, Negara Tuhan; The tematic Encyclopedia (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004)
[5] Lihat Robert Dreyfuss, Devil’s., hlm. 1-38
[6] Ibid., hlm. 39-62

Post a Comment for "Membaca Keterlibatan Intelejen dalam terciptanya Clash of Civilization"