Kamu Anti Thariqah? Baca Ini Dulu..
Secara etimologi, kata tarekat adalah berasal dari bahasa Arab Thariqah (yang bentuk jama’nya menjadi thuruq atau thara’iq) yang berarti jalan atau metode atau aliran (madzhab). Sedangkan secara terminologi, tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan untuk sampai (wushul) kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh oleh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau Mursyid (guru tarekat) tarekat masing-masing, agar berada sedekat mungkin dengan Allah SWT, sehingga kata tarekat menjadi identik dengan tasawuf.
Sedangkan tasawuf adalah jalan mendekatkan diri
kepada Allah SWT melalui ibadah. Secara hakiki ia mengusahakan penyucian diri,
yang diharapkan menghasilkan kedamaian, kebahagiaan dan kesejukan hati. Untuk
mencapai tujuan tasawuf, maka seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk
menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya yang selalu mengajak kepada
kejahatan.
Sebagaimana yang berkembang di kalangan Ulama Ahli
Tasawuf, Thariqah yaitu: “ jalan atau petunjuk dalam melaksanakan sesuatu
ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah dan yang dicontohkan
beliau serta dikerjakan oleh para Sahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan
terus turun temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama secara bersambung dan
berantai hingga pada masa kita ini”.
Saifuddin mengutip dari Brunessen, menyatakan
bahwa Tarekat merupakan fenomena keagamaan yang menarik antara lain karena
kesanggupannya menjaga kelangsungan ajarannya dari waktu ke waktu, dari situasi
ke situasi yang lain. Bahkan peran tarekat atau sufisme sangat besar dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Tarekat tidak hanya mempunyai fungsi
keagamaan saja tapi juga setiap tarekat adalah keluarga besar, dan semua
anggota-anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu dengan yang lain.
Dasar Hukum Thariqah
Menurut penyelidikan para Ulama ahli Thariqat yang
Mu’tabarah, sebenarnya dasar hukum Thariqat dapat dilihat dari segi-segi yang
antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama : Segi Existensi amalan Thariqat yang
bertujuan hendak mencapai pelaksanaan syari’at secara tertib dan teratur serta
teguh di atas norma-norma yang semestinya dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah : al Jin ayat 16
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan
lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum
kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Ayat ini oleh para Ulama ahli Thariqat dijadikan
pegangan hukum dasar melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan. Meskipun masih
ada sebagian orang yang menentang dijadikannya ayat itu sebagai dasar hukum
Thariqat.
Kedua : Dari segi materi pokok amalan Thariqat
yang berupa wirid dzikrullah, baik yang dilakukan secara Mulazamah yakni secara
terus menerus, ataupun yang dilakukan secara Mukhalafah maksudnya terus menerus
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membawa akibat lupa kepada
Allah . Hal ini sesuai dengan firman Allah : al-Ahzab Ayat 41-42.
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah
(dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah
kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”.
Melihat bunyi ayat ini, maka jelas bahwa Allah
telah memerintahkan kepada sekalian orang yang beriman untuk tetap senantiasa
berdzikir dan bertasbih dengan menyebut nama “Allah” baik dilakukan pada waktu
pagi atau petang, siang dan malam.
Ketiga : Dari segi sasaran pokok yang hendak
dicapai dalam mengamalkan Thariqat yakni terwujudnya rasa manunggal
antara hamba dengan Allah lantaran ketekunan dan keikhlasan dalam
menjalankan syari’at-Nya secara utuh dan terasa indah oleh pantulan sinar
cahaya Allah. Sebagaimana diterangkan di dalam Hadits Nabi saw.
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم بارزا يوما للناس فأتاه زجل فقال: ما الإيمان ؟ قال: الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث.قال: ماالإسلام؟ قال: الإسلام أن تعبدالله ولا تش ك به شيئا و تقيم الصلاة وتؤدى الزكاة المفروضة وتصوم رمضان. قال: ماالإحسان؟ قال: أن تعبدالله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك. (رواه البخارى).
“ Diriwayatkan dari Abi Hurairah berkata
bahwa pada suatu hari Nabi berada di tengah-tengah sekelompok orang banyak
tiba-tiba ada seoarang laki-laki (Jibril) datang kepadanya seraya bertanya:
Apakah Iman itu? Nabi menjawab: Iman ialah Kamu percaya adanya Allah, dan
percaya kepada Malaikat-Nya, percaya akan bertemu Allah di hari akhirat,
percaya terhadap para Rasul-Nya dan percaya kepada adanya hari kebangkitan.
Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi kepada Nabi : Apakah Islam itu ?
jawab Nabi : Islam ialah menyembah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya,
mengerjakan shalat (fadlu), menunaikan zakat, berpuasa Ramadlon. Kemudian
laki-laki itu bertanya lagi kepada diri Nabi ? Apakah Ikhsan itu? Jawab Nabi:
Ikhsan yaitu keadaan engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,
sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka Allah melihat engkau” (H R. Bukhari).
Dalam Hadits ini dapat dipahami adanya beberapa
pengertian bahwa kehidupan agama dalam jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika
dapat dikumpulkan tiga faktor pokok yang sangat menentukan, yaitu Iman, Islam,
dan Ikhsan. Masing-masing dapat dicapai lantaran mempelajari dan memahami serta
mengamalkan ilmu-ilmu yang membicarakan masalahnya.
Iman, Islam dan Ikhsan, ketiganya berkaitan erat
mencapai sasaran pokok yakni “mengenal Allah untuk diyakini”. Hal ini menuntut
terwujudnya sikap tindak perbuatan nyata dalam hidup ini, segala bukti
kepatuhan melaksanakan segala yang diperintah, dikerjakan dan yang dilarang
ditinggalkan dengan penuh ikhlas karena Allah semata disertai penuh rasa cinta
terhadap-Nya. Manakala keadaan semacam ini sudah sampai pada puncaknya maka
akan tercapailah hakekat tujuan hidup yang sebenarnya sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah sendiri lewat syari’at yang dibawa Muhammad saw.
Sejarah Singkat Thariqah
Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
Nama Naqsyabandi diambil dari nama pemimpin aliran
ini, yakni Baha’ al-Din Naqsyabandi dari Bukhara (1390). Aliran ini kemudian
menyebar secara luas di Asia Tengah, Volga, Kaukasus, Barat dan Timur daya
China, Indonesia, anak benua India, Turki, Eropa serta Amerika Utara. Aliran
ini adalah satu-satunya aliran sufi yang memiliki geneologi silsilah tranmisi
“ilmu” melalui pemimpin muslim pertama yakni Abu Bakar, bukan seperti aliran-aliran
sufi lain yang memiliki geneologi melalui pemimpin spiritual syi’ah, tentu
melalui Imam Ali kemudian sampai kepada Nabi.
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang
pemuka tasawuf terkenal yang bernama lengkap Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din
al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan di
sebuah Desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam
Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar
Syah yang menunjukan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual.
Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang
menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika
berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf,
yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Kulal adalah seorang khalifah
Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang
didirikannya.
Tarekat Naqsyabandiyah sudah dikenal di Indonesia
paling tidak sejak abad ke-17, tetapi baru benar-benar menjadi populer pada
akhir abad ke-19. Cabang tarekat Naqsyabandiyah yang pada saat itu dengan cepat
menyebar ke seluruh Nusantara adalah tarekat Khalidiyah, demikianlah tarekat
tersebut dinamakan mengikuti nama guru yang karismatik dan pembaharu
Maulana Dhiya’ Al-Din Khalid Al-Baghdadi atau Al-Kurdi, yang dengan seorang
diri mengusahakan bangkitnya kembali tarekat tersebut pada awal abad ke-19.
Maulana Khalid mendorong terjadinya dinamika dalam
tarekat Naqsyabandiyyah dan menanamkan semangat puritan dan aktivis. Tidak
sedikit dari khalifahnya dan para penerus mereka yang terjun secara aktif di
lapangan politik. Kita dapati syaikh-syaikh Khalidiyah Naqsyabandiyyah yang
berperan sebagai pemimpin-pemimpin politik dan bahkan pemimpin militer. Salah
seorang di antaranya adalah Syaikh Syamil dari Daghistan, yang bertahun-tahun
memimpin perjuangan melawan Rusia yang telah menaklukan Kafkasya (akhirnya ia
pun dikalahkan pada tahun 1859). Di Kurdistan, tarekat Naqsyabandiyyah akhirnya
menjadi organisasi politik yang paling kuat, dan beberapa pemberontakan
nasionalis awal yang dilancarkan kaum Kurdi dipimpin oleh syaikh-syaikh
Naqsyabandiyyah. Syaikh-syaikh Naqsyabandiyyah juga ambil bagian dalam
perlawanan terhadap pendudukan Rusia di Asia Tengah pada penghujung abad
kesembilan belas.
Ciri menonjol Tarekat Naqsyabandiyah adalah
Pertama, diikutinya syariah secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang
menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berzikir
dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran
golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat
lainnya, tarekat Naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam
menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya ia
melancarkan konfontrasi dengan berbagai kekuatan politik agar dapat mengubah
pandangan mereka. Selain itu tarekat ini pun membebankan tanggung jawab yang
sama kepada para penguasa dan menganggap bahwa upaya memperbaiki penguasa
adalah sebagai prasyarat untuk memperbaiki masyarakat.
Hasil pengamatan yang dilakukan banyak sarjana
menunjukan bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung mendekati penguasa dan
mencari pengikut di kalangan elite politik. Contoh klasik adalah syaikh
‘Ubaidallah Ahrar (Khwajah Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari
pendiri tarekat Baha’uddin Naqsyaband. Sumber sejarah lokal menggambarkan
Khwajah Ahrar sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat berpengaruh di
istana dinasti Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang).
Jumlah muridnya banyak, dan mereka berasal dari
semua lapisan masyarakat, yang secara demikian memperkokoh bobot politiknya.
Ketika pada masa suksesi terjadi peperangan antara beberapa calon pengganti
sultan, pemenangnya adalah pangeran yang didukung oleh Khwajah Ahrar, Abu
Sa’id. Syaikh kemudian tetap sebagai guru, penasehat dan pelindung spiritual
raja Abu Sa’id dan kemudian penggantinya ‘Abd Al-Lathif. Pengaruhnya
dimanfaatkan, antara lain, demi Islamisasi lanjutan pemerintahan atas desakan
Khwajah Ahrarlah Abu Sa’id konon telah mengubah beberapa aturan ‘urfi (adat)
sehingga lebih sesuai dengan syariat. Khalifah-khalifah Khwajah Ahrar berusaha
memainkan peranan yang sama pada dinasti-dinasti lokal. Bahkan ada keturunan
spiritualnya yang berhasil menjadi penguasa di Yarkand, salah satu kerajaan
lokal di Asia Tengah.
Ajaran Dasar Thariqah Naqsyabandiyah
al-Khalidiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, tarekat
Naqsyabandiyyah pun mempunyai sejumlah tata cara peribadatan, teknik spiritual,
dan ritual tersendiri, yaitu:
Asas-asas
Inti ajaran dasar Thariqah Naqsyabandiyah terdiri dari sebelas asas sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Abdul Khâliq Ghujdwani, sedangkan 3 asas lainnya adalah penambahan oleh Muhammad Bahâ’ al-Dîn Naqsyabandi, sebagai berikut;
Hush dan dam, artinya seorang sufi haruslah sadar
setiap menarik nafas, menghembuskan nafas dan ketika berhenti sebentar diantara
keduanya.
Nazhar bar qadam, artinya seorang murid haruslah
menjaga langkah sewaktu berjalan dan memandang ke depan sewaktu duduk agar
tujuan rohaninya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya.
Safar dar wathan, artinya melakukan perjalanan
batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia
menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.
Khalwat dar anjuman, artinya menyibukkan diri
dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya
sekalipun sewaktu berada dalam keramaian.
Yâ dakrad, artinya terus menerus mengulangi nama Allah
baik dalam hati maupun lisan agar dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah
secara permanen.
Bâz Gasht, artinya kembali dengan
mengucapkan kalimat yang mulia Ilâhî anta maqshûdî wa ridhaka mahlûbî (Ya
Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu-lah yang
kuharapkan).
Nigâh Dasyt, artinya waspada, dengan pengertian
menjaga pikiran dan perasaan terus menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid
untuk mencegah pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap
akan Tuhan dan untuk memelihara pikiran serta perilaku seseorang agar sesuai
dengan makna kalimat tersebut.
Yâd Dasyt, artinya mengingat kembali dengan
pengertian menangkap secara langsung Dzat Allah melalui penglihatan yang
diberkahi. Tahap ini hanya dapat ditempuh oleh orang yang sudah mencapai
derajat rohani tertinggi.
Adapun tiga asas lainnya yang berasal dari Syaikh
Baha’ al-Din Naqsyabandi adalah:
Wuquf zamani, “memeriksa penggunaan waktu”, yaitu
orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur
keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali.
Wuquf ‘adadi, “memeriksa hitungan zikir”, yakni
dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada
zikir nafi-itsbât, 3 atau 5 samapai 21 kali.
Wuquf qalbi, “menjaga hati tetap terkontrol”.
Kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang
secara sempurna sejalan dengan zikir dan maknanya.
Dzikir dan wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyyah, seperti kebanyakan
tarekat lainnya adalah dzikir, yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun
menyatakan kalimah la ilaha illallah. Tujuan latihan itu adalah untuk mencapai
kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Tarekat Naqsyabandiyyah
membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah
dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, “dalam hati”), sebagai lawan
dari dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyyah adalah dzikir ism
al-dzat, “mengingat nama Yang Haqiqi ” dan dzikir tauhid, “mengingat keesaan”.
Yang pertama terdiri dari pengucapan nama Allah berulang-ulang dalam hati,
ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sembari memusatkan perhatian kepada Tuhan
semata. Dzikir tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafiw wa itsbat) terdiri
atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimah la ilaha
illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh.
Dzikir yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan
membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada
tujuh titik halus pada tubuh, yaitu qalb (hati), ruh (jiwa), sirr (nurani
terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi),
nafs nathiqah (akal budi) dan lathifah ketujuh kull jasad sebetulnya tidak
merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh.
Dengan memperbanyak dzikir seseorang akan
merasakan ketenangan hidup yang luar biasa, dikarenakan selalu mengingat Dzat
yang telah menciptakan manusia, dengan demikian seseorang akan selalu
menggantungkan segala urusan hidupnya hanya kepada Allah semata dan menyadari
bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang mampu memberikan pertolongan kepada umat
manusia. Sebagaimana dalam firman Allah QS ar-Ra’d ayat 28:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir, pembacaan
aurad (tunggalnya wird) meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad
merupakan doa-doa pendek atau formul-formula untuk memuja Tuhan dan/atau memuji
Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang
sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara
psikologis akan mendatangkan manfaat.
Muraqabah
Ada kategori latihan-latihan lainnya, yang hanya diajarkan kepada murid yang tingkatannya lebih tinggi, biasanya hanya kepada mereka yang telah menguasai dzikir pada semua lathaif. Latihan ini disebut muraqabah, “pengendalian diri”, ini merupakan teknik-teknik konsentrasi dan meditasi.
Rabithah Mursyid
Rabithah adalah wasilah yang berhubungan dengan
perhatian dan kecintaan hati orang yang melakukan Rabithah dengan yang di
Rabithahi.
Semua petunjuk agama dalam segi apapun yang telah
diperoleh setiap muslim yang hidup sejak zaman Rasulullah sampai sekarang
adalah diterima melalui perantaraan guru, bagi para shahabat Nabi, pengetahuan
dan petunjuk agama mereka peroleh dari gurunya yakni Rasulullah sendiri, para
Tabi’in memperoleh dari para shahabat Nabi, demikian seterusnya sampai pada
masa kita ini.
Oleh karena itu peranan Guru Mursyid atau Syekh
dalam mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam yang dibawa Rasulullah adalah
sangat menentukan sebab termasuk salah satu faktor yang mendorong tercapainya
tujuan akhir daripada melaksanakan syari’at tersebut sesuai dengan dasar aturan
yang sudah ditetapkan oleh Syar’i.
Tetapi jika seorang Islam mengambil ilmu tidak menggunakan lantaran lewat seorang guru Mursyid atau Syekh, maka wajar terjadi penyelewengan terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Ia tidak merasa dirinya telah berada di dalam lingkaran kesesatan. Jadi Rabithah dilakukan semata-mata karena Allah, sedikit pun tidak ada unsur-unsur penyembahan kepada guru Mursyid.
Tetapi jika seorang Islam mengambil ilmu tidak menggunakan lantaran lewat seorang guru Mursyid atau Syekh, maka wajar terjadi penyelewengan terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Ia tidak merasa dirinya telah berada di dalam lingkaran kesesatan. Jadi Rabithah dilakukan semata-mata karena Allah, sedikit pun tidak ada unsur-unsur penyembahan kepada guru Mursyid.
Khatm-i Khwajagan* (salah ketik)
Khatm-i Khwajagan* merupakan serangkaian wirid, ayat, shalawat, dan doa yang menutup setiap dzikir berjama’ah. Konon ini disusun oleh ‘Abd Al-Khalq Al-Ghujdawani, dan dianggap sebagai tiang ketiga Naqsyabandiyyah, setelah dzikir ism al-dzat dan dzikir nafiy wa isbat. Pembacaan khatm dipercayai untuk memohon ruh-ruh para syaikh besar dari masa lampau agar membantu mereka yang sedang berkumpul. Khatm dibacakan di tempat yang tidak ada orang luar, dan pintu harus tertutup. Tak seorangpun boleh ikut serta tanpa izin lebih dulu dari sang syaikh. Kecuali itu, para peserta harus dalam keadaan berwudhu.
Tawajjuh
Syaikh atau Mursyid memegang peranan sangat penting demi kemajuan spiritual murid. Ikut sebuah tarekat tanpa mempunyai seorang syaikh adalah mustahil. Sang syaikh membantu murid-muridnya dengan berbagai cara, dengan mengajarkan langsung tetapi juga melalui proses yang disebut tawajjuh. Istilah ini berarti “temu muka”, tetapi dalam lingkungan Naqsyabandiyyah telah memperoleh beberapa arti khusus. Tawajjuh merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka hatinya kepada syaikhnya dan membayangkan hatinya itu disirami berkah sang syaikh. Sang syaikh akhirnya membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw.
Bai’at
Bai’at atau talqin adalah janji setia seorang murid kepada gurunya, bahwa ia akan mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh sang guru, tanpa “reserve”. Silsilah adalah hubungan nama-nama yang panjang yang menunjukan bahwa sang guru memiliki keterhubungan langsung dengan Nabi Muhammad, melalui perantaraan guru besar tarekat tersebut. Dengan melaksanakan baiat, maka si murid masuk dalam silsilah yang berkesinambungan itu. Sebagai bukti ia telah masuk dalam tarekat tertentu dan boleh mengajarkan apa yang diajarkan dalam tarekat itu.
Khalwat atau Suluk
Suluk pada hakekatnya adalah mengosongkan diri pribadi (jiwa) dari sifatsifat buruk (dari maksiat lahir dan maksiat bathin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (dengan taat lahir dan batin).
Jadi pengertian suluk itu pada hakekatnya bukan sekedar untuk mendapatkan nikmat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah, atau untuk mendapatkan sorotan Nur Cahaya dan lain-lain, sehingga pada akhirnya kelak akan dapat mengetahui suratan-suratan nasib, semuanya itu bukan. Tetapi suluk bertujuan semata-mata hanya untuk Allah lain tidak. Setiap ahli Tasawwuf atau Thariqat dirinya merasa yakin akan sampai kepada Allah dengan melalui suluk itu. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi ayat 110:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Berdasarkan ayat ini para kaum sufi dan ahli
thariqat sama mengerjakan amalan-amalan yang sholeh termasuk di dalamnya adalah
amalan suluk dengan cara-cara yang tertentu, antara lain yaitu melakukannya
selama 40 hari, 20 hari dan 10 hari.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan
di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa peran mursyid dalam meningkatkan
keberagamaan jama’ah thariqah amatlah penting. Mursyid merupakan seseorang yang
memiliki kedudukan yang tinggi dalam thariqah. Beliau adalah orang yang sangat
di hormati dan di taati segala apa yang di ucapkannya.
Peran mursyid dalam meningkatkan keberagamaan
jama’ah thariqah di Pondok Pesantren Bani Malik sudah baik. Terbukti dari
perubahan-perubahan yang dirasakan oleh para jama’ah tentang keberagamaannya
berbeda dengan ketika sebelum ikut thariqah. Adapun peran-peran yang dilakukan
oleh mursyid adalah sebagai berikut:
Meningkatkan keimanan
Dalam hal meningkatkan keimanan mursyid menjalankan perannya dengan membai’at murid, proses bai’at yang dilakukan secara tertutup merupakan amaliah yang di mana seorang jama’ah mengucapkan janji setia kepada Allah dengan wasilah mursyid untuk tidak mengulangi dosa yang telah lalu dan berjanji untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Bai’at merupakan amaliah untuk membersihkan hati dari seagala kotoran yang menempel. Hal ini baik dilakukan, karena dengan demikian jama’ah menjadi punya tanggung jawab yang harus diamalkannya. Seperti amaliah dzikir, membaca Al-Quran, bersuluk, dan tawajjuhan.
Meningkatkan akhlak
Pertama, Memberikan nasehat, mursyid selalu
memerintahkan kepada jama’ahnya untuk berbuat kebaikan, pemberian nasehat ini
dilakukan setiap kali jama’ah silaturahim dan jika dalam keadaan tertentu
sebelum kegiatan dimulai ataupun setelah kegiatan berakhir, misalnya ketika
hendak tawajjuhan, setelah suluk dan diwaktu-waktu tertentu ketika jama’ah
membutuhkan.
Kedua, Keteladanan, tingkah laku mursyid yang
selalu menjaga apapun yang beliau ucapkan dan lakukan merupakan sesuatu yang
dijadikan teladan bagi ama’ahnya. Hal ini dilakukan karena keteladanan adalah
salah satu hal yang penting, karena setiap tingkah laku seorang mursyid akan
dilihat dan dicontoh oleh para jama’ahnya.
Meningkatkan hubungan muamalah dan
kepedulian kepada sesame
Dalam meningkatkan hubungan muamalah, peran yang
dilakukan oleh mursyid adalah dengan memberikan nasehat, teladan dan suluk.
Pemberian nasehat dengan memerintahkan para jama’ahnya untuk selalu husnudzon
dan menjaga hubungan baik dengan sesama serta membantu yang kurang mampu.
Teladan yang di cerminkan oleh mursyid di contohkan lewat sikapnya yang ramah
dan fleksibel kepada siapapun yang dihadapinya, yang terahir dengan bersuluk
para jama’ah dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan kepedulian karena mereka
hidup bersama dalam satu tempat.
Daftar Pustaka
Amar, Imron Abu. Sekitar Masalah Thariqat
(Naqsyabandiyah). Kudus: Menara, 1980.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
Bruinessen, Martin van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis. Bandung: Mizan, 1992.
Burhani, Ahmad Najib. Tarekat tanpat Tarekat; Jalan Baru Menjadi Sufi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Haeri, Fadhlalla. Jenjang-jenjang Sufisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadits Sahih. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Lubis, Satria Hadi. Breaking the Time: Kiat Memaksimalkan Keterbatasan Waktu Agar Hidup Lebih Dahsyat. Yogyakarta: Pro You, 2012.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, 2004.
Noor, Muhammad Ilyas. Mengenal Thariqah Naqsyabandiyah; Nama, Pendiri, Perkembangan, Ajaran, Silsilah. Purwokerto: t.p., 2010.
Sila, Moh. Adlin, dkk.. Sufi Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007.
Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Syukur, Amin. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Zuhri, Saifuddin. Tarekat Syadziliyah; Dalam Perspektif Perilaku Peruahan Sosial. Yogyakarta: Teras, 2011.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
Bruinessen, Martin van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis. Bandung: Mizan, 1992.
Burhani, Ahmad Najib. Tarekat tanpat Tarekat; Jalan Baru Menjadi Sufi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Haeri, Fadhlalla. Jenjang-jenjang Sufisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadits Sahih. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010.
Lubis, Satria Hadi. Breaking the Time: Kiat Memaksimalkan Keterbatasan Waktu Agar Hidup Lebih Dahsyat. Yogyakarta: Pro You, 2012.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, 2004.
Noor, Muhammad Ilyas. Mengenal Thariqah Naqsyabandiyah; Nama, Pendiri, Perkembangan, Ajaran, Silsilah. Purwokerto: t.p., 2010.
Sila, Moh. Adlin, dkk.. Sufi Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007.
Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Syukur, Amin. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Zuhri, Saifuddin. Tarekat Syadziliyah; Dalam Perspektif Perilaku Peruahan Sosial. Yogyakarta: Teras, 2011.
Post a Comment for "Kamu Anti Thariqah? Baca Ini Dulu.."