Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Revival And Reformation of Woman




Lincahnya Kebakuan Agama di Kancah Relativitas Kehidupan Duniawi
oleh: Ibnu Kharis Purwokerto
082242297820 

Pendahuluan

            Banyak hal yang menjadi sorotan publik baik dalam negeri maupun luar negeri, seperti halnya masalah kesejahteraan, kesehatan, budaya, tradisi, hak asasi (HAM), dan lain sebagainya. Hal ini bisa kita baca dan rasakan dengan munculnya berbagai badan hukum, instansi, atau organisasi yang berjuang dan menggeluti dalam hal di atas. Banyaknya kasus, peristiwa, dan tragedi yang di tayangkan oleh berbagai media publikasi menuntut diri kita untuk menganalisa dan bertindak. Penulis tertarik dengan topik gender yang akhir – akhir ini sering di bicarakan oleh banyak orang seiring seringnya KDRT atau masalah – masalah lain seputar hal itu.

            Berbicara masalah gender[1], sebenarnya ini bukanlah masalah baru yang muncul pada abad 20han ini melainkan sudah kerap terjadi pada masa rasulullah sang pemimpin umat islam nabi Muhammad Saw. bagaimana tidak? karena sejarah merekamnya dan telah mengangkat derajat wanita dengan memberikan harga diri (sense of dignity) pada masyarakat yang tertindas pada masa itu. Kesetaraan dan keadilan gender masih di perdebatkan di masyarakat, sekalipun Islam telah mengangkat nilai ini sebagai bagian integral dalam konteks penghargaan terhadap nilai – nilai universal kemanusiaan. Dan yang menjadi penyebab kontroversi di kalangan orang Islam adalah: Pertama, status Quo yang masih di pertahankan sebagai manifestasi budaya patriakhi; Kedua, masih kuatnya pemahaman tekstual karena dipandang tidak memiliki problem penafsiran; Ketiga, penolakan terhadap budaya barat yang mengusung isu kesetaraan gender pada masyarakat muslim.[2]

            Persimpangan berbahaya antara gender , kelas, ras, bangsa dan seksualitas perlu di bongkar dan di benahi secara bertahap, karena persoalan sosial: kemiskinan, tingginya tingkat kematian dan kelahiran, rendahnya tingkat partisipasi perempuan di ruang publik, dan lain sebagainya. Tafsir agama yang kondusif terhadap hak – hak perempuan akan menjadi ikon dan paradigma membebaskan problem sosial. Dalam Al Quran surat Al-Baqarah ayat 185 di jelaskan bahwa Allah menghendaki kemudahan, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, sedangkan dalam hadist nabi yang di riwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abbas menerangkan bahwa nabi Muhammad di utus dengan membawa agama yang lurus dan penuh toleransi. oleh karena itu agama bukanlah instrumen penindasan melainkan instrumen pembebasan.

            Sebagaimana yang di akui penulis, teks ini tertulis dengan berbagai pemikiran dan pertimbangan. Yang terpenting adalah realitas histori dan realitas kini perlu di sinkronisasikan, dalam konteks hukum – hukum yang telah terbentuk pada zaman ulama oleh Salafuna Al Shalih dahulu, dapat di transformasikan sesuai dengan zaman. Banyak hukum – hukum agama yang di rasa tidak lagi relevan pada era sekarang ini, dan perlu di kaji ulang secara ilmiah dan mendalam. Karena Kesalahan penafsiran dapat menimbulkan dampak negatif di kalangan masyarakat. dalam essay ini banyak di ambil aturan – aturan agama yang bersumber dari kitab kuning mengenai masalah wanita antara teori dan praktik kekinian.

Marginalisasi Agama Terhadap Perempuan

            Jika kita tarik kebelakang, sebenarnya agama islam adalah agama yang penuh kasih sayang, saling memberi keselamatan (salam) maka kalimat salam sering terucap dan terdengar di kalangan orang islam sebagai simbol keislamannya, yang memiliki hubungan baik antara sesama orang islam maupun hubungan non islam.[3] Islam, dilihat dari segi namanya saja merupakan agama yang unik, karena ia berarti “keselamatan”, “kedamaian”, atau “penyerahan diri secara total kepada Tuhan.” Inilah sesungguhnya makna firman Allah Q.s. Ali Imran/3:19, Inna al-dina ‘inda Allah al-Islam yang artinya: “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah ialah Islam”[4]. Sedangkan realita yang ada pada kehidupan ini masih berbalik arah antara kasih sayang dan tidak kasih sayang. term yang tepat atas tidak kasih sayangnya agama terhadap perempuan sangat banyak, di antaranya adalah:
Pertama, ketika pembagian warisan, perempuan mendapatkan bagian lebih rendah dari pada laki – laki, sebagaimana keterangan yang ada pada surat an-nisa ayat 11 yang artinya: Bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (للذكر مثل حظ الأنثيين), dengan alasan yang ada pada ayat ke 34, yaitu[5]

 الرجال قوامون على النساء بما فضل الله على بعض


“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”[6] Bisa di katakan karena tugas laki-laki lebih berat dari pada perempuan, seperti jihad dan lainnya[7]

Dalam kata lain, di sebabkan karena seorang laki –laki memiliki kewajiban / tugas pokok kepada isteri, di antaranya memberi nafaqoh[8]. Oleh karena itu akankah hal ini adil dan sesuai dengan hukum agama sedangkan realitas sudah berbeda ketika hukum ini di tetapkan. tentunya islam memberikan kelonggaran ketika sudah sempit keadaannya. dan ayat ini sangat berhubungan dengan loyalitas kepemimpinan laki – laki, toh sekarang ini berapa persen orang islam yang mengaplikasikan sistem bagi warisan sesuai dengan aturan – aturan yang saklek sebagaimana yang di atur dalam alquran ataupun al – hadis.

kedua, ketika terjadi kasus perzinaan yang menjadikan seseorang itu di hukum adalah karena adanya saksi. dan saksi yang mengesahkan adalah persaksian orang laki – laki atau sedangkan perempuan tidaklah mengesahkan tuduhan zina tersebut.[9] hal ini berlaku pada bab Al-Hudud (hukuman) baik hadnya orang yang minum minuman keras seperti perasan anggur ataupun sejenisnya yang dapat memabukkan maupun  di dalam had qadzaf , yaitu hukuman bagi orang yang menuduh zina, orang yang menuduh akan di cambuk apabila tidak bisa mendatangkan 4 orang saksi laki – laki yang adil. dan di jilid sebanyak 80 kali bagi orang yang merdeka dan 40 kali bagi budak.[10]

Ketiga, dalam konteks rumah tangga dan ruang lingkupnya, Banyak sekali teks – teks yang tidak relevan di pakai pada zaman sekarang baik di dalam hadist maupun pernyataan ulama klasik, tapi bukan berarti seluruhnya. contohnya saja:

Ø  keutamaan laki – laki bias di lihat dari dua sisi, yaitu hakiki dan syar’i. dari segi hakiki atau kenyataan mereka lebih cerdas, kesanggupan kerja berat dengan tabah, kuat fisik, kemampuan menulis, terampil menunggang kuda, dan banyak yang menjadi ulama atau pemimpin, menjadi saksi dalam had, qisash, nikah dan sebagainya, warisan asobah lebih banyak, dan lain – lain. sedang secara syar’I mereka melaksanakan dan memenuhu haknya sesuai dengan ketentuan syara’.[11] tetapi realitas sekarang apakah seperti itu? justru sekarang sudah banyak kelebihan perempuan di banding kemampuan laki – laki yang mana bersifat relative.

Ø  jika seorang isteri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat mengutuknya sampai pagi.[12] Hadis ini apabila di baca secara tekstual maka yang menjadi sasaran adalah perempuan belaka, padahal pada saat sekarang ini banyak sekali perempuan yang dengan setia tidur di kursi menunggu suaminya pulang, tetapi yang di tunggu tak kunjung datang sampai pagi. oleh karena itu hadis ini hanya secara kontekstual berdasarkan asas keadilan. Berarti hadis ini juga berlaku pada suami.

Ø  Sahabat Ali Ra. berkata: sejelek – jeleknya kelakuan laki – laki yang merupakan sebaik – baik kelakuan perempuan adalah bakhil, tidak mau melebihkan hartanya bagi peminta, mengagumi diri sendiri dan penakut atau sakit hati. perkataan[13] ali ini sangat menyakitkan bagi wanita pada umumnya apabila pada zaman sekarang ini masih di koar –koarkan oleh sebagian orang, dan tentunya masih banyak hadis yang di interpretasikan secara teksnya saja (tidak melihat apakah itu hanya untuk masa itu saja atau bias di gunakan untuk umum). Sebagian besar hadist yang ada pada kitab ‘Uqudul Lujjayn ternyata banyak yang maudhu’ dan dha’if, serta cerita – cerita klasik yang di anggap tidak pas apabila di jadikan sandaran untuk realita sekarang ini.

Dan masih banyak lagi yang menyangkut marginalisasi perempuan (konteks hokum dulu yang belum di transformasikan dengan ere sekarang ini misalnya konsep mahram dalam hal safar dll.

Jika kita telisik hadist di bawah ini yang berbunyi:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن قلن ما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول الله قال أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذالك من نقصان عقلها أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم قلن بلى فذالك من نقصان دينه.[14]

Memang benar sebagian literatur islam kekurangan itu di anggap sebagai sesuatu yang melekat pada diri perempuan. Namun kekurangan ini bukanlah kekurangan yang mutlak dan alami dan yang di maksud adalah kekurangan yang relatif, seperti pada waktu haid, nifas dan wiladah yang mana tidak mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan yang di lakukan oleh laki – laki.



Penutup

Isu kesetaraan gender menyangkut mashadir ahkami al-syar’ah} (sumber hukum syariah) berupa al-quran dan al-sunnah yang berkategori qath’iy dan shahih. Para ulama klasik meletakkan tafsir teks ayat tersebut berdasarkan sosio – kultur zaman itu, sehingga relevansinya dengan isu – isu ma’ashir (kontemporer) sangat naif. Hal ini bukan berarti penafsiran para salafuna al-shalih atau ulama klasik itu salah, tetapi tepat pada masanya. Dan yang salah adalah asumsi bahwa tafsir dan metodologi mereka tidak dapat di ubah dan di anggap sebagai sesuatu yang konklusif dan final[15].

Realitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang mengalami perubahan dan lompatan yang sangat jauh, tak pernah membayangkan isu-isu modern dan bahkan post-modern akan berjalan dengan skala semakin cepat ketika masa nabi Muhammad atau klasik. karena itu, pemikiran-pemikiran, adaptasi-adaptasi dan reaktualisasi terhadap konsep-konsep islam harus berubah, dan ini harus melalui suatu metodologi baru sebagai bentuk kestabilan islam dalam berbagai situai, zaman, dan kondisi.[16]

Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin isma’il al-bukhari, Matan Al-Bukhari, Juz 1, (Indonesia: Al – Haramain, tanpa tahun), bab. Tark al-haid al-shaum.
Abu Yahya Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab Syarah Manhaj Al-Tholab,Juz II (Indonesia: Toha Putra, tanpa tahun)
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya Al-Jumanatul Ali,(Bandung, J-Art, 2005)
Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri ‘ala ibni qasim al-ghozi,Juz I, (Indonesia, Al-Haramain, tanpa tahun)
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996)
Mudhofir Abdullah, Masail Al-Fiqhiyyah Isu-isu Fikih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2011)
Muhammad bin qasim Al-ghozi, Syarah Fathul Qarib Al-Mujib, (Surabaya: Nurul Huda, tanpa tahun)
Muhammad ‘Umar An Nawawi, ‘Uqud al-Lujjayn, (Semarang, Pustaka al-‘Alawiyyah, tanpa tahun)
Mufidah, Gender di Pesantren Salaf Why Not...? di terbitkan oleh UIN-Maliki Press (Malang: Aditya Media, 2010)
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah III, (Beirut: dar Al Fikr, 2006), hal. 771-776
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa adillatuhu, Juz VI, (Indonesia, Darul Fikr, tanpa tahun)



Footnote :
[1] Walaupun arti gender dan sex sama dalam kamus, tetapi konteks disini di bedakan. seks merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin yang di tentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. seks seperti ini bersifat kodrati. Berbeda dengan gender yang bersifat konstruksi sosial budaya. Jelasnnya gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki -  laki atau perempuan yang di kontruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki – laki di konseptualisasikan sebagai manusia yang kuat, rasional, jantan, perkasa, dan lain – lain. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), Hal. 7-9.
[2] Mufidah, Gender di Pesantren Salaf Why Not...? di terbitkan oleh UIN-Maliki Press (Malang: Aditya Media, 2010), hal. xii
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah III, (Beirut: dar Al Fikr, 2006), hal. 771-776
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya Al-Jumanatul Ali,(Bandung, J-Art, 2005), hal. 53
[5] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri ‘ala ibni qasim al-ghozi,Juz I, (Indonesia, Al-Haramain, tanpa tahun), hal. 81
[6]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya Al-Jumanatul Ali,(Bandung, J-Art, 2005), hal. 85
[7] Abu Yahya Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab Syarah Manhaj Al-Tholab,Juz II (Indonesia: Toha Putra, tanpa tahun), hal. 6
[8] Tugas atau kewajiban suami terhadap isteri adalah: 1. memberi nasihat, menyuruh dan mengingatkan untuk berbuat baik, serta menyenangkan hati isteri. 2. Memberi nafkah sesuai dengan usaha dan kemampuan. 3. bersabar dan tidak mudah marah apabila isteri berkata dan berbuat sesuatu yang menyakitkan. 4. bersikap lemah lembut dan berbuat baik. Muhammad ‘Umar An Nawawi, ‘Uqud Al-Lujjayn, (Semarang, Pustaka al-‘Alawiyyah, tanpa tahun), hal. 4-5
[9] Wahbah Al-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa adillatuhu, Juz VI, (Indonesia, Darul Fikr), tanpa tahun hal. 87
[10] Muhammad bin qasim Al-ghozi, Syarah Fathul Qarib Al-Mujib, (Surabaya: Nurul Huda, tanpa tahun), hal. 56
[11] Muhammad ‘Umar An Nawawi, ‘Uqud Al-Lujjayn, (Semarang, Pustaka al-‘Alawiyyah, tanpa tahun), hal. 7
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 8
[14] Abu Abdullah Muhammad bin isma’il al-bukhari, Matan Al-Bukhari, Juz 1, (Indonesia: Al – Haramain, tanpa tahun), bab. Tark al-haid al-shaum, hal. 64
[15] Mudhofir Abdullah, Masail Al-Fiqhiyyah Isu-isu Fikih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 21

[16] ibid., hal. 29-30

Post a Comment for "Revival And Reformation of Woman"