Menuju Pendidikan Yang Kaffah
Oleh Nur Wahid, SH.I
Ketika kita bicara mengenai
kekuasaan, maka yang tergambar adalah pemerintahan dengan birokrasinya, ataupun
kekuasaan yang dipegang oleh seseorang, kekuasaan konglomerat, ataupun
kekeuasaan-kekuasaan lainnya yang dikenal dimasyarakat.
Pada saat ini bangsa Indonesia
sedang menghadapi berbagai tantangan walaupun sudah satu dasawarsa reformasi
berjalan, dan beberapa tantangan tersebut kalau diidentifikasi sesuai dengan
ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang pementapan persatuan dan kesatuan
nasional dan kondisi bangsa Indonesia saat ini adalah masih berlangsungnya
pelaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat yang mengabaikan proses demokrasi
yang menyebabkan rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya sehingga
terjadi gejolak politik yang bermuara pada gerakan masyarakat yang menuntut
kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Jadi apa hubungan antara kekuasaan
dan pendidikan?.Sepintas kelihatannya tidak ada hubungan apapun antara
kekuasaan dan pendidikan. Tidak pernah kita dengar bahwa pendidikan dikerahkan
untuk mengambil alih kekuasaan politik, dalam dunia mahasiswa dikenal
gerakan-gerakan progresif untuk mengubah kebijakan politik, seperti di Perancis
(1968), di Amerika Serikat tahun 70-an, di Indonesia 1965 dan 1998.
Malahan kalau kita cermati bahwa
proses pendidikan merupakan suatu proses yang berjalan denagan suasana
kedamaian, dalam kehidupan bersama manusia yang tanpa kekerasan. Namun posisi
pendidikan mendapatkan tempat yang sangat istimewa karena transformasi sosial
tidak dapat terlaksana tanpa pendidikan, oleh sebab itu masalah kekuasaan dan
pendidikan mempunyai bidang garapan yang bersamaan. Seperti kita ketahui bahwa
pendidikan adalah suatu proses ilmu praktis yang diarahkan kepada suatu
refleksi untuk mengubah praksis pendidikan menuju kepada transformasi kehidupan
yang lebih maju.
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mencapainya pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan
nasional tentunya tidak luput dari tantangan perubahan kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia dengan upaya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu, relevansi pndidikan, dan efisiensi dalam manajemen.
Pemerintah dalam menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Kekuasaan pemerintah dalam hal ini terutama terletak dalam
penentuan standard pendidikan agar mutu pendidikan yang diterima oleh anak
bangsa mempunyai mutu yang tinggi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup serta
dapat bersaing dalam abad globalisasi dewasa ini. Sarana untuk merealisasikan
tujuan itu yaitu melalui kurikulum nasional dan standardisasi pendidikan.
Standardisasi
Dalam pendidikan kita yang
sentralistik, kita mengenal berbagai standard untuk melaksanakan dan
mengokohkan sistem yang sentralistik tersebut. Segala sesuatu ditentukan oleh
kekuasaan negara yang ditopang oleh birokrasi yang kaku, peratuaran-peraturan
yang terpusat atau dipegang oleh pemerintah pusat dan tidak memberikan
kebebasan di daerah-daerah untuk melaksanakan peraturan-peraturan tersebut
sesuai dengan kebutuhan daerah.
Maka tumbuh dan berkembanglah suatu
sistem yang kaku, statis, dengan mmanajemen yang terpusat. Mekanisme kontrol
dari pusat dibangun dengan begitu rupa sehingga tidak ada ruang gerak untuk
pengambilan keputusan pada tingkat kabupaten dan tingkat provinsi.
Seluruh Indonesia menerapkan satu
sistem, satu standard sehingga tidak mengherankan apa yang diajarkan di Jakarta
sama dengan apa yang diajarkan dipelosok-pelosok hutan Kalimantan ataupun di
Papua. Salah satu standardisasi yang ditentukan oleh kemauan pemerintah pusat
adalah melalui ujian terpusat yang dikenal dengan EBTANAS.
Seperti yang diuraikan sebelumnya,
proses pendidikan yang demikian itu hasilnya pembodohan rakyat atau proses stupidifikasi. Lebih miris lagi proses
komoditifikasi pendidikan bahkan sudah memunculkan kapitalisme pendidikan
karena pendidikan tidak diarahkan kepada kebutuhan rakyat, tetapi kebutuhan
segelintir kelompok elit.
Untuk mencegah adanya
komoditifikasi pendidikan maka harus ada upaya untuk mengoreksi ekses-ekses
sistem yang sangat sentralistik. Adakalanya ada sekolah pusat pembudayaan
terutama untuk menghormati budaya lokal, menerapkan standardisasi pndidikan
berdasarkan “link and match” yang
berupaya meningkatkan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyaratkat,
adapula dibebani dengan mata pelajaran mengenai pancasila agar masyarakat
memahami dan mampu mengaplikasikan dalam dunia sosial sehingga rasa patriotisme
tetap ada.
Kurikulum
Kurikulum memang bukan merupakan
yang statis tetapi harus berubah dan bergerak sesuai dengan tuntutan perubahan
zaman. Sejak Indonesia merdeka, pendidikan kita kerap gonta-ganti kurikulum,
mulai dari kurikulum tahun 1968, 1975 atau 1976, 1984, 1994, 2004, 2006, 2012,
dan 2013.
Ternyata perubahan-perubahan
tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan, yaitu manusia yang lebih
cerdas dan bermoral. Beban kurikulum yang semakin berat justru membuat kualitas
peserta didik semakin menurun. Kita lihat media masa kerap memberitakan tawuran
para siswa maupun para mahasiswa yang menjadi mode dari agresivitas anak muda
yang menandakan gagalnya pendidikan moral yang telah diberikan.
Barangkali yang menjadi masalahnya
adalah bagaimana standard tersebut dilaksanakan melalui kurikulum. Kelihatannya
penyusunan meminta pertimbangan yang rasional dan teknis. Penentuan standard
tersebut barangkali bukan melalui kekuasaan pemerintah tetapi melalui kekuasaan
pendidikan dengan menggunakan para pakar, peserta dari masyarakat seperti orang
tua dan pemimpin.
Indonesia masih dalam masa transisi
karena belum mempunyai pengalaman berdemokrasi dan melaksanakan sistem
pendidikan yang demokratis oleh sebab itu ada baiknya apabila kita melihat
sistem negara lain yang dapat kita ambil dan kita adaptasikan dalam reformasi
sistem pendidikan nasional sesuai dengan undang-undang sistem pendidikan
nasional yang baru.
Ada dua pemahaman di jepang yang
digunakan untuk merubah tatanan pendidikan sebagai salah satu pembentukan
karakter bangsa. Pertama, pemahaman
radikal yang meyakini bahwa peruban pendidikan hanya bisa dilakukan dengan cara
perombakan secara simultan. Kedua
adalah pemahaman konservatif yang meyakini bahwa perubahan pendidikan hanya
bisa dilakukan dengan ikut serta dalam sistem yang ada sekarang.
Beberapa kekhasan yang dimiliki
Jepang antara lain: Pertama,
perhatian pada pendidikan datang dari berbagai pihak. Dimulai dari pihak
pemerintahan, elit politis hingga masyarakatnya sama-sama meyakini bahwa
pendidikan adalah sangat penting dalam melatih tenaga terampil dan ahli, untuk
membentuk elit politik selanjutnya dan mengajarkan kebudayaan bagi seluruh
rakyat Jepang. Para orangtua sangat yakin menitipkan anak-anaknya ke pendidikan
Jepang dan respon terhadap pendidikan anak-anaknya sangat menakjubkan.
Kedua, sekolah di
Jepang tidak mahal. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan tentang
pendidikan salah satunya adalah mereka memberikan subsidi kepada orang-orang
tidak mampu untuk makan siang di sekolah dan kegiatan belajar lainnya. Ketiga, di Jepang tidak ada diskriminasi
terhadap sekolah, Jepang mendorong orang-orang terpencil untuk dapat menikmati
pendidikan yang sama dengan yang lain, yakni dengan memberikan subsidi
transportasi. Guru yang cakap dan mau bekerja ditempat yang jauh juga akan
diberi tunjangan.
Keempat, kurikulum di
Jepang amat berat karena pendanaan pemerintah dalam pendidikan cukup besar.
Pemerintah pusat merencanakan kurikulum secara rinci dan terstruktur dan
memeriksa buku-buku pelajaran yang akan dijual untuk menjamin isi buku sesuai
dengan standard. Kelima, Guru
terjamin tidak akan kehilangan jabatannya. Keenam,
guru di Jepang penuh dedikasi. Dan untuk komunikasi dengan orang tua murid,
setidaknya guru mengunjungi orang tua murid sekali dalam setahun.
Ketujuh, Guru di
Jepang merasa wajib memberi pendidikan. Selain mengacu pada perkembangan
kognitif, pendidikan di Jepang ialah memberikan pengajaran anak untuk memiliki
hati yang bersih dan lapang.Kedelapan,
guru di Jepang bersifat adil. Suasana berjuang yang dialami guru Jepang dan
dimana mereka bekerja membuat mereka secara ideologis menjadi lebih masak.
Selain yang disebutkan diatas, hal
lain yang sangat penting adalah pendidikan karakter yang sesuai dengan khas
negara, pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis
nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lainnya. Dan itu
adalah pilihan dari masing-masing individu-individu yang perlu dikembangkan dan
perlu dibina, sejak usia dini (idealnya).
Agar pendidikan kita mendapatkan
pendidikan karakter yang sempurna: pertama, pendidikan harus jujur. Tidak ada
ijzah yang palsu, gelar palsu, slogan palsu, atau omong besar. Menurut Gus Dur,
konsepsi pendidikan kita berjalan diatas konsepsi yang salah sehingga tidak
mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan dan kebodohan.
Letak kesalahannya adalah karena
pendidikan kita menekankan pada ijazah formal, bukan pada subtansinya untuk
memanusiakan manusia. Kurikulum pendidikan harus dilaksanakan dengan
sebenar-benarnya, setidaknya kita harus memiliki kurikulum yang memang
benar-benar dibuat atas dasar tujuan dan prospek pendidikan itu, tanpa ada
unsur kekuasaan, politik, atau persoalan gengsi dan fanatisme.
Pendidikan harus cerdas, pendidikan
harus tahu apa yang diperlukan oleh warga didik, cara yang tepat untuk
mendidik, siapa yang tepat menjadi seorang pendidik, dan masalah apa yang
terjadi di lingkungan pendidikan serta bagaimana cara mengatasinya. Kita harus
mampu mengatur frekuensi untuk mengimitasi model pendidikan asing. Jangan
sampai model yang tidak sesuai dengan keadaan pendidikan kita paksaan masuk dan
akhirnya malah merusak dan menjajah.
Pendidikan harus peduli. Sudah
pasti sasarannya adalah masyarakat atau saya lebih suka menyebutnya warga
didik. Ivan Illich dalam bukunya Deschooling
Society mengajukan pembentukan” masyarakat bebas sekolah”. Kata Illich,
yang diperlukan adalah pendidikan yang membebaskan manusia. Pendidikan formal
kita hanya menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Jurang pemisah antara cendikiawan
dan kaum dungu, antara masyarakat maju dan warga tertinggal masih amat curam.
Ini yang harus diperhatikan dan dirangkul dengan kepedulian, sehingga statement
pendidikan formal diselenggarakan melalui suatu sistem yang diatur oleh
pemerintah sehingga setiap warga negara Indonesia tanpa diskriminasi dalam
bentuk apapun memperoleh pendidikan seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan
intelektual dan fisiknya dapat didukung dengan sempurna.
Semoga pemerintah lebih peduli dan
tegas untuk mengelola sistem pendidikan nasional sehingga melahirkan calon
pemimpin-pemimpin yang mampu menjawab tantangan global dan mampu bersaing di
dunia internasional. Amiin.
Daftar Pustaka
Tilaar, H.A.R.2003.kekuasaan
dan pendidikan (suatu tinjauan dari perspektif studi kultural. Magelang:
Indonesia Tera Anggota IKAPI,.
Buku empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang disusun
oleh: Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014. Cetakan
ketiga April 2013. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI
Nurhadi, Wahyu, dkk.2013. ( Ed. Abdul Wachid B.S dan Dimas
Indianto) Bunga Rampai Pohon Dakwah.
Purwokerto: Forum KPI-2011.
Salam
Hangat Jotako7
Jurnal Of
Trust And Kaleidoscopical Obsession
Jujur Omongane, Tawadhu’ Akhlake, Kualitas Obrolane
Post a Comment for "Menuju Pendidikan Yang Kaffah"