Seksploitasi Moral Pada Sastra Puisi-Perempuan Abdul Wachid B.S.
By: Muhammad Badrun
Diolah dari
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr IAIN Purwokerto
Sastra tidak
mungkin dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Membaca sastra sering
disebut membaca estetis atau membaca indah yang tujuan utamanya agar pembaca
dapat menikmati, menghayati, dan sekaligus menghargai unsur-unsur keindahan yang
terpapar dalam teks sastra.[1]
Melalui karya sastra, kita dapat
menjelajah mozaik perubahan dan/atau
konsistensi sosial pada masa yang melingkupi, bahkan spekulasi jauh dari masa
teks sastra dibuat. Dengan rangkaian kata, seorang sastrawan dapat menampilkan
realitas dan interpretasi sosial yang mengharu-biru, menohok emosi, serta
menggugah kesadaran penikmat sastra pada berbagai penyimpangan yang terjadi
dalam sebuah sistem sosial yang sering terjadi dan diciptakan yang kadang
justru tidak terbaca bahkan tidak disadari.
Sastra menurut Daiches mengacu pada
Aristoteles, sebagai suatu karya yang menyampaikan suatu jenis
pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain, yakni suatu cara
yang yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya
wawasan pembacanya.[2]
Tidak jarang karya sastra dengan
rangkaian eksotismenya merupakan sebuah pergolakan individual yang dialami baik
oleh individu seseorang pada umumnya dan khususnya
pada sastrawan yang ditimbulkan akibat banyaknya aktivitas sosial yang heterogen, namun lebih dari sikap tersebut merupakan
aktivitas amoral yang membuat rasa miris sehingga memanifestasikan nilai sarkasme
dalam sastra seorang sastrawan dengan
memberi sentakan pada setiap individu manusia agar mau melihat realita sosial yang negatif.
Sehingga dapat
menyadarkan penikmat karya sastra untuk tidak hanya melihat keeksotisan ‘tubuh’
sastra secara eksplisit tetapi juga diharapkan mampu melihat dengan dilakukan
tindakan untuk menyikapi kegiatan tersebut untuk dihentikan keberadaannya
melalui sentilan karya sastra.
Pada saat sastra berada pada wilayah
penyadaran dan pencerahan kepada penikmatnya, maka karya sastra itu berada dalam
derajat sastra pendidikan berbasis moral.
Dalam konteks sastra pendidikan
moral diatas, tidak berlebihan apabila tiga puisi tentang tindakan amoral
berupa seksualitas karya Abdul Wachid B.S., yaitu Orang-orang Bayangan, Penyanyi
Campursari, Kupu-kupu Terperangkap Gelap termasuk dalam kategori tersebut.
Dalam puisi Orang-orang Bayangan,
digambarkan tentang seorang tuna susila di sebuah tempat yang hina, yang
membuat kemirisan dengan mengais rejeki lewat tindakan yang tidak bermoral,
yang dalam pandangannya dalam hidup untuk mencapai kehidupan yang sejahtera.
Dalam puisi Penyanyi Campursari,
meskipun tidak secara eksplisit merujuk kepada tindakan amoral, tetapi
menggambarkan tentang bagaimana seorang perempuan dalam mempertahankan hidupnya
dengan mengais rejeki lewat sebuah nyanyian yang membangkitkan birahi lelaki
sehingga dengan mudahnya mereka menjual harga diri. Hal ini merupakan tindakan
yang tidak bermoral yang eksistensinya harus dikembalikan kepada esensi sebagai
seorang penyanyi.
Dalam puisi Kupu-kupu
Terperangkap Gelap, menggambarkan tentang aktivitas perempuan pada malam
hari melakukan tindakan demi mencapai impian hidupnya dengan, naum kemirisan
timbul karena tindakan tersebut merupakan tindakan yang merusak moral dengan ‘terjun’
ke lembah perzinaan/ seks komersial. Hal tersebut membuat pergolakan dihatinya
untuk mengakhiri tindakan tersebut sebagai kesadaran untuk kembali kepada
kondisi sebelumnya yang lebih baik.
Perlu ditekankan disini bahwa ketiga
puisi di atas menggambarkan tentang berbagai macam tindakan seksualitas
perempuan yang dapat mendekadensikan moral manusia. Namun, harus ditegaskan
bahwa Abdul Wachid B.S. tidak sedang mendiskreditkan seorang perempuan, namun dia
sangat menyadari bahwa keadaan sosial yang bertendensi negatif dapat
menghancurkan generasi berikutnya.
Karya-karya Abdul Wachid B.S. yang
mengusung tentang sarkasme terhadap tindakan asusila, yang membawa paradigm
kritis terhadap penyikapan tindakan tersebut, diantaranya dengan melakukan
destruksi seksploitasi, analisis psiskis, dan perpetuasi rehabilitasi yang
berimplikasi pada penyadaran atas tindakan amoral tersebut melalui paradigm
kritis dalam pendidikan berbasis moral sebagaimana disebutkan di atas.
Trilogi Puisi-Perempuan Abdul Wachid B.S.
Abdul Wachid
B.S. (biasa dipanggil Achid) yang dilahirkan di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober 1966. Merupakan putra pertama
dari empat bersaudara. Ibunya (Siti Herawati binti Muhammad Usmuni), dan
ayahnya (Muhammad Abdul Basyir bin Masyhuri Wiryosumarto) seorang pedagang
kecil, guru dan ketua yayasan di sebuah Madrasah kecil (Miftahul Amal). Mulai
buku koleksi ayahnya, Achid mulai gemar membaca.[3]
Besar dalam lingkungan yang berbeda membuat karya-karya sastra Achid heterogen
dan kompleks, meskipun karya sastranya terkesan mempunyai seribu wajah. Namun,
secara spesifik mempunyai ideologi yang jelas, yaitu Paradigma Kritis Jawa. Hal
ini dapat ditelusuri secara runut melalui tiga puisinya yang menjadi kajian
tulisan ini, yaitu Orang-orang Bayangan, Penyanyi
Campursari, Kupu-kupu Terperangkap Gelap.
Paradigma
Achid dengan citarasa Jawa tampak dalam puisi-puisinya, selalu dimulai dengan
deskripsi perasaan sensitif orang jawa terhadap fenomena sosial yang juga
terkadang dia ikut dalam cerita dalam puisi-puisinya, seperti dalam penggalan
puisi Orang-orang Bayangan dibawah ini.
Kami memasuki lagi jalanan
berdebu
Yang dulu melukisi mata dan nasib
Yang berkedip-kedip dalam sebuah
sajak
Yang dipenuhi kalimat lembut,
tapi sesak tanjakan
Kecemasan memburu setiap ruang
Menggelepar ke sekitar,
taman-taman mengering
Dari penggalan puisi di atas terlihat bahwa
Achid memulainya dengan sensitifitas miris. Sebuah keadaan yang menjadi sebab
untuk melakukan action terhadap tindakan amoral. Keadaan ini digambarkan
dengan tempat dimana di dalamnya ada orang-orang (baca; pelacur) yang berkumpul
siap memberikan pelayanan kepada pelanggannya dengan memberikan rayuan lembut
sehingga membuat terlena setiap orang yang datang atau lewat di jalan
tersebut. Hal ini membuat perasaan miris melihat potret buram keadaan sosial zaman
sekarang.
Hal yang sama juga Achid
sampaikan melalui puisinya,
yaitu Penyanyi Campursari dalam penggalan puisi di bawah ini.
Antara tarian dan nyanyianmu,
maka
Runtuhlah hati lelaki yang
lalulalang, tetapi
Untuk merebut selendang itu
Penggalan puisi di atas menggambarkan tentang
keadaan sosial dimana sebuah tindakan yang dilakukan oleh gerakan tubuh
perempuan berupa tarian yang gemulai dan suara atas nyanyian dapat
membangkitkan gairah seksualitas lelaki, sehingga menjadikan keinginan untuk
melakukan tindakan asusila yang mencoreng citra esensi seorang penyanyi secara
general.
Dalam puisi Orang-Orang Bayangan digambarkan
pula bahwa seorang perempuan hidup sebagai tunasusila karena keadaan ekonomi
yang kurang yang menjeratnya untuk melakukan perbuatan hina (baca;
seks-komersial) sebagai cara untuk bertahan hidup, seperti dalam penggalan
puisi berikut.
Lalu kami dekap lagi tubuh
kemlaratan itu
Selaksa bayang-bayang, kami
bertukar tangkap
Masih dari trotoar, ke gang kecil
dipenuhi rumah kumuh
Lalu langit kamar retak mengucuri
pikiran dan
Perasaan kami membaca segala itu
sebagai perlambang megah
Yang mungkin hanya berakhir di
antara pusar surut ke paha
Menjadi lenguh dalam ledakan
Penggalan puisi di atas menjelaskan keadaan sosial
dalam masyarakat di lingkungan yang negatif, hidup dalam ekonomi rendah dengan
penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan menjadi tunasusila sebagai
probabilitas kebahagiaan akhir.
Hal yang sama juga terlihat dalam puisi Kupu-kupu
Terperangkap Gelap, seperti penggalan puisi berikut ini.
Perempuan
yang dikepung sepi, kemana
Kau
lenggangkan jam-jam kelam, ya kemana
Jangan
pada simpang jalan dengan bedak
Dan
gincu tebal, atau wisky yang berderai
Dalam penggalan puisi di atas, Achid juga memulai
dengan perasaan miris dengan melakukan pelarangan terhadap wanita tunasusila
yang hendak ‘berpetualang’ pada malam hari dengan bertebaran di simpang jalan,
dengan bergincu tebal di bibirnya. Hal ini juga dipertegas oleh Achid tentang
jiwa seseorang apabila tidak adanya didikan tentang nilai-nilai religious dan
moral akan ,mengalami kekosongan, sehingga dia akan berjalan dengan tanpa arah
tujuan yang jelas dalam hidupnya sampai terjun ke dalam tindakan amoral sebagai aktivitas untuk mengisi kekosongan jiwanya.
Dari penggalan
puisi diatas Achid ingin melakukan generalisasi realitas bahwa tindakan amoral
atau asusila disebabkan adanya ketimpangan dalam psikisnya yang akibatnya akan
merasakan kekosongan dan kecemasan dalam menjalani hidupnya.
Keadaan jiwa
yang kosong juga digambarkan oleh Achid dalam puisinya, terlihat dalam
penggalan puisi berikut.
Perempuan
sunyi cerita, di bawah traffic-light
Jalanan,
berdentang-dentang udara malam
Menampar
jantung hatimu. Senantiasa
Ingin
pulang rumah, ya kemana rumah
Puisi di atas menunjukkan bahwa bila seseorang mengalami kegersangan dalam jiwanya, yakni gersang
dalam pengetahuan moral (baca: agama) maka akan mengalami pergolakan berupa
kebingungan yang destinasinya adalah rumah, dalam arti keadaan dimana dia harus
berserah menumpah ruahkan penyesalannnya karena tindakannya yang merusak moral.
Psikosastra Terhadap Destruksi Seksploitasi
Dalam puisi Orang-orang Bayangan tergambar
adanya perasaan ganjil melihat fenomena yang bersimpangan dengan nilai
kesusilaan, seperti dalam penggalan puisi berkkut.
Disitu barangkali kami menjadi makhluk siang yang
Sangsi akan diri sendiri, sekalipun
Kami hanya beroleh keringat serta air mata
Untuk dijadikan mandi malam[1]
.....
Secara tersirat, penggalan puisi di atas
menunjukkan adanya perasaan kebimbangan Achid terhadap sosial tersebut, adanya
rasa ingin membumihanguskan praktek hina tersebut dalam tatanan sosial yang
ditunjukkan dengan usahanya walaupun tidak berarti apapun. Hal ini ditunjukkan
pada penggalan berikut.
Sangsi akan diri sendiri, sekalipun
.....
Kemudian Achid mencoba memberikan penetralan
pergolakan keganjilan yang ada dengan mendiamkan sejenak tindakan yang sudah
merajalela akut tersebut. Namun dari tindakan penetralan tersebut, Achid merasa
tetap sangsi ketika tindakan tersebut dihentikan dengan cara tidak manusiawi,
maka hal ini memunculkan sikap introspeksi diri dalam bersikap dan bertindak
ketika menghadapi sebuah problematika sosial dengan kembali kepada pengakuan kebersalahan
diri di hadapan Sang Maha Pencipta sebagai muara dari segala pengaduan. Tampak
dalam penggalan puisi berikut.
Tapi selalu saja kami berkeras mengubur
bayang-bayang
Sikap berserah dengan introspeksi diri dalam
penggalan di atas mempertegas bahwa setiap individu manusia tidak luput dari
kesalahan, baik itu berupa judge, mengintimidasi dan sebagainya dengan
mengakui secara penuh tindakan penghakiman secara sepihak terhadap pelaku tunasusila.
Analisis Psikis
Selain penggambaran psikosastra terhadap destruksi
seksploitasi, dalam tiga puisi-perempuan Achid juga digambarkan mengenai
implikasi dari tindakan asusila yang menyebabkan degradasi moral, yaitu kondisi
psikis dari penyandang tunasusila. Hal ini terlihat dalam penggalan puisi
berikut.
Rumah hati telah tergadai gedung dan hotel yang
Menjulang. Tangis sungai yang menjelma limbah
industri
Usah bayangkan sayang, segarnya embun
Atau cericau burung di pohon-pohon kehidupan.
Segala
Dari puisi di atas, sorang tunasusila tentang
keadaan jiwanya merasa kotor karena hati yang bersih ‘tergadai’ oleh perbuatan
kenikmatan sesaat. Kondisi jiwa tersimpan rasa penyesalan dan kegalauan dalam
dirinya karena tidak bisa merasakan kebebasan hidup yang terkendali sikap dan
perbuatannya.
Rehabilitasi Secara
Perpetual
Dalam tiga puisi-perempuan ini, Abdul Wachid B.S. menggunakan sensitifitas budaya
jawa dan sarkasme untuk pendekatan dua arah, yakni arah vertikal dan arah
horizontal dengan kegiatan akomodasi, yaitu penyesuaian manusia dalam kesatuan sosial
untuk menghindari dan meredakan interaksi ketegangan dan konflik yang sedang
terjadi.
Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk proses rehabilitasi secara perpetuasi
sehingga menjadikan setiap individu mengalami kesadaran bahwa tindakan asusila
eksistensinya harus dihentikan dengan cara manusiawi tidak main hakim
sendiri. Rehabilitasi secara perpetuasi juga diharapkan dapat meminimalisir
sekecil mungkin tumbuhnya praktek prostitusi di kalangan masyarakat secara
luas.
Dalam ketiga puisi-perempuan, Achid melakukan refleksi kritis terhadap
kultur semi-liberalisme menuju sebuah transformasi sosial. Dengan puisi, Achid
memberikan ruang yang cukup untuk pembelajaran dalam mengkritisi sebuah
struktur sosial yang carut-marut, serta memberikan konstruk pemikiran, meskipun
tidak secara eksplisit menuju system sosial yang berkeadaban dalam
diversifikasi masyarakat.
Dalam hal ini, Achid terlihat menegaskan bahwa karya sastra tidak mugkin
bersifat netral dan berjarak dengan masyarakat. Karya sastra sudah melakukan
kritik terhadap sistem yang negatif dalam kultur masyarakat sebagai tindakan
kontra penetralan untuk menciptakan keseimbangan, atau menciptakan sistem
sosial yang berkeadaban.
Karya sastra dapat dijadikan sarana pembelajaran bagi penikmatnya. Karya
sastra juga dijadikan sebagai sarana transformasi sosial.[12] Dalam konteks ini Achid ingin menjadikan karyanya untuk dapat membantu
mengangkat kembali derajat manusia yang mengalami dekadensi moral karena system
dan struktur sosial yang tidak berkeadaban.
Dengan demikian yang, sebagaimana yang dilakukan Achid bahwa karya sastra
tidak hanya ingin mengubah kondisi sosial secara massif. Akan tetapi menjadi
katalisator yang mengubah tatanan sosial yang transparan sebagai bentuk
pencerahan pemikiran yang konstruktif
dengan bekal pengetahuan agam sebagai tindakan preventif kepada tindakan
asusila (baca; prostitusi).
Penutup
Trilogi puisi-perempuan Abdul Wachid B.S. disusun dengan paradigma kritis
yang identik dengan pola nalar Jawa. Meskipun demikian, tiga puisi ini dibuat
untuk dapat dianalisis sebuah keadaan realita sosial dalam masyarakat yang
bertendensi negatif sehingga dapat menghancurkan moral generasi manusia,
khususnya generasi muda sebagai pilar masa depan yang harus dididik dengan
pendidikan moral agar menjadi generasi yang berkeadaban.
Puisi-puisi tersebut mendeskripsikan tentang refleksi kritis terhadap kultur semi-liberalisme, menegaskan analisis
mengenai dampak yang ditimbulkan oleh psikis dari tindakan asusila, yang pada
akhirnya akan timbul kegaulauan yang menyebabkan penyesalan sehingga berpasrah
secara total kepada Sang Khaliq dan menyadari bahwa tindakan tersebut
berkontradiksi dengan nilai kemoralan.
Salam Hangat Jotako7
Jurnal Of Trust And Kaleidoscopic Obsession
Jujur Omongane, Tawadhu’ Akhlake, Kualitas
Obrolane
Daftar Pustaka
Kayadibi, Fahri. 2008. Insania
Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan. Purwokerto: STAIN Press.
Melani Budianta, dkk. 2008. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Tri Priyatni, Endah. 2012. Membaca
Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.
Wachid B.S., Abdul. 2005. Sastra Pencerahan.
Yogyakarta: Saka.
----------------------------.
1995. Rumah Cahaya; Sepilihan Sajak Abdul Wachid B.S..Yogyakarta: Ittaqa
Press.
---------------------------.
2003. Tunjammu Kekasih. Yogyakarta: Bentang Budaya.
---------------------------.
2013. Kepayang. Yogyakarta: Cinta Buku.
[1] Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi
Kritis (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 3.
[2] Melani Budianta dkk., Membaca
Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi) (Magelang:
IndonesiaTera, 2008), hlm. 7-8.
[7] Abdul Wachid B.S., Rumah Cahaya; Sepilihan Sajak Abdul
Wachid B.S. (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1995). hlm. 63.
[12] Fahri Kayadibi, Insani Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan
(Purwokerto: STAIN Press, 2008), hlm. 240.
Post a Comment for "Seksploitasi Moral Pada Sastra Puisi-Perempuan Abdul Wachid B.S."