Sepintas Tentang Tasawuf di Indonesia
By: Lutfi Muammar, Intan N. Azizah, Nasihatul Khasanah
Diolah Dari jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr IAIN Purwokerto
Secara etimologi
beberapa ulama berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata al shuf (
bulu domba ), karena sufi bersama Allah Swt., laksana bulu domba dan
dipersiapkan dan karena kepasrahannya kepada Allah Swt. Dan sebagian ulama
berkata, “ Tasawuf berasal dari kata al sifah ( jernih ), karena para
sufi telah disifati dengan sifat-sifat yang baik dan meninggalkan sifat-sifat
yang tercela “. Ada juga ulama yang mengatakan al suffah, karena sufi
adalah orang yang telah mengikuti sesuatu dan karakter yang telah ditetapkan
oleh Allah Swt.[1]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tasawuf berarti berpasrah kepada Allah Swt
dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Secara terminologi,
Syaikh Ahmad Faruq ra. berkata “ Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan
untuk memperbaiki hati dan menyendirikan Allah Swt. ( tidak menyekutukan ) dari
yang lainnya. Al Qadhi Syaikh al Islam Zakariya al Anshari ra. berkata “
tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang penyucian jiwa, pembersihan akhlak
dan pembangunan jasmani (dzahir) dan ruhani ( bathin ) untuk mendapatkan
kebahagiaan abadi”[2]
Suhrawardi memiliki pandangan sendiri terhadap Tasawuf, ia menyimpulkan bahwa
Tasawuf merupakan semua tindakan ( al-ahwal ) yang mulia.[3] Sehingga
dapat dikatakan bahwa Tasawuf merupakan cara yang ditempuh agar bisa menjadi
seorang manusia yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan melakukan
tindakan-tindakan yang mulia.
Sasaran Tasawuf
Ilmu tasawuf
bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti,
bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah,
mujahadah, sabar, ridho, tawakal, dan seluruh sifat terpuji yang sejalan
dengan hati.[4]
Pembahasan
tentang hal-hal di atas merupakan suatu cara agar seorang sufi mampu
membersihkan jiwanya dari dosa sehingga tabir penghalang antara dirinya dan
Tuhannya akan terbuka. Prosesnyapun tidak sembarangan, ada tingkatan-tingkatan
tertentu atau maqam-maqam tertentu yang harus di lewati hingga seorang
sufi mencapai maqam ma’rifatyaitu maqam tertinggi yang ada di
dalam Tasawuf. Jadi, apabila kita cermati sasaran ajaran Tasawuf adalah akhlak
dan budi pekerti yang berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Oleh karena
itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai cara, baik dalam hubungan
antar manusia maupun dengan Tuhan.
Manfaat Tasawuf
Manfaat tasawuf
yang pertama, cinta yang bersifat ketuhanan. Cinta kepada Allah adalah
tujuan yang paling luhur dalam segenap maqamat-maqamat yang ada, selain
merupakan derajat yang paling tinggi karena selain derajat itu tak ada lagi
kecuali hanya buah dari cinta itu sendiri yang selalu selaras dengannya,
seperti : kerinduan, damai dan ridla. Kedua, kasyf. Kasyf adalah cahaya
yang diraih oleh kaum Salik dalam perjalanan mereka menuju Allah Swt.
Yang mana tabir nyata telah menyingkapkan diri dan sirnalah sebab-sebab materi
yang menghalanginya karena hati mereka telah menjadi bersih berkat mujahadah,
berkhalwat, dan berdzikir.
Ketiga,
ilham. Ilham adalah sesuatu yang dikaruniakan dalam hati melalu pendaran.
Dikatakan ilham adalah ilmu yang ada dalam hati. Ia adalah sesuatu yang
mendorong seseorang untuk melakukan amal ibadah tanpa harus melalui perenungan
bukti dan penalaran ayat. Dan yang terakhir adalah Karamah (kemampuan
luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada para auliya yang
merupakan para kekasih Allah SWT).[5]
Dari keempat
manfaat Tasawuf di atas maka kita mampu menilai seberapa jauh kekuatan Tasawuf
dalam mengubah akhlak manusia dan meluruskannya kembali ke dalam jalan yang
benar. Manfaat di atas merupakan manfaat yang akan dirasakan oleh para pengikut
Tasawuf yang benar-benar mengaplikasikan ajaran kesufiannya.
Thoriqoh
Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah
Salah satu
aliran tasawuf yang turut ambil bagian dalam hal tersebut adalah Thoriqoh
Qodiriyah wa Naqsabandiyyah. Secara bahasa thoriqoh berasal dari bahasa Arab
yang berarti jalan atau petunjuk. Secara istilah thoriqoh berarti jalan atau
petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah SAW dan dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para Sahabatnya,
Thabi’in, Thabi’t Thabi’in, dan terus turun-temurun, sampai kepada guru-guru,
ulama-ulama secara bersambung dan berantai hingga masa kita ini.[6]
Sedangkan nama
Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah berasal dari kata Qodiriyyah dan Naqsyabandiyyah,
dimana kata Qodiriyyah adalah nama Tarekat yangdiambil dari nama pendirinya
yaitu Abdul Qadir Jailany (470 H/1077 M-561H/1166M), sedangkan nama Naqsyabandi
sendiri berasal dari nama pendiri tarekat Naqsyabandiyyah yaitu
Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al Uwaisi al-Bukhari al-Naqsyabandy
(717H/1318M-791H/1389M).[7] Nama Qodiriyyah
wa Naqsyabandiyyah merupakan gabungan dari dua tarekat yaitu tarekat Qodiriyyah
dan Naqsyabandiyyah.
Thoriqoh
Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah ini merupakan Thoriqoh yang diakui sebagai salah satu Thariqah
Mu’tabarah (tarekat yang sah) oleh Nahdlatul Ulama. Tarekat ini
diakui sebagai salah satu Thoriqoh yang sah oleh Nahdlatul Ulama karena
mempunyai silsilah, atau rantai keanggotaan yang tampak dan dapat ditelusuri
serta sampai kepada Nabi Muhammad SAW serta tidak berlawanan dengan praktik Syariah.[8]
Thoriqoh
yang
diakui oleh Nahdlatul Ulama sebagai Thoriqoh yang sah ini adalah Thoriqoh
yang paling banyak pengikutnya di Indonesia, dan merupakan Thoriqoh asli
Indonesia yang didirikan oleh ulama Indonesia yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas
(1802-1872 M), yang berasal dari Sambas, Pontianak, Kalimantan Barat.[9] Ajaran-ajaran
dasar Tasawuf Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah dari sudut
pandang praktik salah satunya adalah dzikir (zikir) yang berarti
mengingat atau menyebut. Pengamalan zikir ini antara lain berdasar kepada
firman Allah surat al-Ahzab ayat 41 :
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”.
Dasar dari
Al-Qur’an yang lain adalah surat Ali Imron ayat 191 :
“orang-orang yang mengingat Allah, baik dengan berdiri, duduk dan
(atau) berbaring”
Selain itu ada dasar hukum
yang berupa hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin
Malik :
“Hari kiamat
tidak akan datang kepada orang yang mengucap Allah, Allah”[10]
Ada dua jenis
zikir yang diamalkan oleh Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah yaitu
zikir dengan suara (al-dzikr al- jahri) dan zikir tanpa suara (al-dzikr
al-khafi ). Adapun amalan lainya adalah Bai’at yang yang berarti
pengaturan atau persetujuan, yang dapat juga berarti suatu janji kesetiaan
kepada seorang Syaikh atau Mursyid. Amalan yang selanjutnya adalah Latha’if
yang merupakan bentuk jamak dari latifah yang berarti bagian badan
yang halus. Bentuk dari amalan latha’if ini pada dasarnya adalah zikir
dengan berbagai macam variasi yang ditujukan untuk anggota badan yang disebut latha’if.[11]
Sekilas setelah
melihat sejarah berdirinya Thoriqoh Qodirriyah wa Naqsabandiyyah, kita
mampu memahami bahwa ajaran Tasawuf yang berkembang di Indonesia ini begitu
subur. Hal itu bisa juga dikarenakan keberhasilan Tasawuf dalam membawa
pengikut-pengikutnya ke dalam sebuah kehidupan yang benar-benar damai dan
tentram. Selain itu tidak jarang orang-orang yang memiliki gaya hidup yang
buruk kemudian bisa kembali ke jalan yang lurus berkat ajaran Tasawuf. Sehingga
Tasawuf dianggap menjadi jalan efektif dalam mengembalikan manusia ke dalam
fitrahnya.
Salam Hangat
Jotako7
Jurnal Of
Trust And Kaleidoscopic Obsession
Jujur Omongane,
Tawadhu’ Akhlake, Kualitas Obrolane
[1]A.
Qadir Isa, Cetak Biru Tasawwuf ( Ciputat :PT Ciputat Press: 2007 ), hal. 2.
[2]A.
Qadir Isa, Cetak, hal. 1.
[3]Amin
Syukur, Menggugat, hal. 18.
[4]M.
Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf( Surabaya : PT BinaIlmu, 1973 ), hal.
137.
[5]A.Q.
Isa, Cetak Biru, hal. 257-296.
[6]Imron
Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat (Naqsyabandiyyah), (Kudus: Menara
Kudus, 1980), hal. 11.
[7]Sri
Mulyati, Memahami dan Mengenal Tarekat-tarekat Mukhtabarah di Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2004), hal. 89.
[8]Sri
Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Refrensi Utama
Suralaya(Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2010), hal. 87.
[9]Sri
Mulyati,,Memahami, 253.
[10]Abdul
Qasim Abdul KarimHawazin al-Qusyairy Al-Naisabury, penterj., Umar Faruq, Risalah
Qusyairiyah, SumberKajianTasawuf, (Jakarta: PustakaAmani: 2007) hal. 316.
[11]Sri
Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Refrensi
Utama Suralaya, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group: 2010) hal.105-115.
Post a Comment for "Sepintas Tentang Tasawuf di Indonesia"