Implementasi Mudharabah Pada Perbankan Syariah
By: Ibnu Kharis, SE
Disampaikan pada ujian komprehenshif Jurusan Ekonomi
Syariah-FEBI-IAIN Purwokerto 2016
1.
Landasan
Operasional Mudharabah di
Perbankan Syariah
Landasan
operasional akad mudharabah adalah fatwa DSN MUI yang selanjutnya
ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia (PBI). Fatwa DSN MUI terkait akad mudharabah
diantaranya adalah :
a.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang dasar pelaksanaan akad mudharabah
di perbankan syariah.
b.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang akad mudharabah musytarakah.
c.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 59/DSN-MUI/IV/2007 tentang obligasi syariah mudharabah
konversi.
2.
Implementasi
Mudharabah di Perbankan Syariah
Mudharabah
adalah akad antara pemilik
modal/harta dengan pihak pengelola. Dimana keuntungan dibagi bersama sesuai
kesepakatan sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Pengelola
tidak menanggung kerugian material karena dia telah menanggung kerugian lain
berupa tenaga dan waktu.
Akad mudharabah
diperbolehkan dalam Islam karena mengandung kemaslahatan dan keadilan bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam akad ini. Pada zaman Rasulullah SAW mudharabah
mampu menjembatani pihak yang secara
finansial berlebih, tetapi tidak memiliki keahlian atau kesempatan dalam
mengembangkan usaha dengan pihak yang memiliki keahlian dan kesempatan, tetapi
tidak memiliki modal. Keadilan ini muncul dengan bertemunya kedua pihak ini
sehingga kemungkinkan kekayaan tidak
hanya berputar di kalangan orang kaya saja.[1]
Mudharabah
dalam perbankan syariah
biasanya diterapkan pada produk pendanaan dan pembiayaan. Pada sisi pendanaan
atau penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada:
a.
Tabungan
berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti:
tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa dan sebagainya.
b.
Deposito
spesial (special invesment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun
pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan pada:
a.
Pembiayaan
modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b.
Investasi
khusus atau disebut juga dengan mudharabah muqayyadah dimana sumber dana khusus dengan penyaluran
yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.[2]
Dalam
rangka menghimpun dana dari masyarakat, mudharabah dapat berupa:
a.
Simpanan
Mudharabah
Modal
yang diterima dari penyimpan ini akan diinvestasikan oleh bank dengan proporsi
keuntungan yang telah disepakati dalam modal mudharabah, seperti
sepertiga atau seperempatnya akan disimpan bank dan sisanya akan dibayarkan
kepada penyimpan.
Pembagian
keuntungan antara pihak penyimpan dan pihak bank dilakukan berdasarkan
keepakatan mutual. Jika bank mengalami kerugian, setiap penyimpan ikut
bertanggungjawab atas tertutupnya kerugian tersebut sesuai dengan proporsi
modal yang ditanamnya. Bentuk simpanan ini bisa berupa tabungan berjangka,
yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan haji,
tabungan kurban dan deposito.
b.
Titipan
Bank
dapat menerima titipan dana dari masyarakat dengan mengkombinasikan produk wadi’ah
yad adh dhamanah dengan mudharabah sehingga pihak penitip dapat mendapatkan
keuntungan dari penggunaan dana titipan tersebut oleh pihak bank dengan
proporsi yang telah disepakati bersama. Sebagai suatu titipan, pihak bank
bertanggungjawab untuk mengembalikan dana titipan tersebut kepada nasabah.[3]
Adapun
dalam kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, mudharabah dipraktikan dalam bentuk:
a.
Pembiayaan
modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b.
Investasi
khusus atau disebut juga dengan mudharabah muqayyadah dimana sumber dana khusus denga penyaluran
yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.[4]
Secara
teknis, mudharabah di perbankan
syariah dapat diartikan sebagai akad kerja sama usaha diantara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%) sedangkan
pihak lainnya sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan dalam mudharabah
dibagi sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak. Sedangkan kerugian akan ditanggung oleh pihak pemodal (shahibul
maal) selama kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kecurangan atau
kelalaian pengelola (mudharib).
Berkaitan
dengan syarat-syarat perjanjian mudharabah dalam perbankan Islam, mula-mula terjadi
perbedaan menurut aliran hukum Islam yang ada. Namun pada permulaan tahun
1970-an, para ahli hukum Islam dan ahli ekonomi Islam berijtihad untuk mencapai
kesepakatan, untuk memodifikasi dan menggabungkan akad mudharabah dengan
akad launnya. Dalam implementasinya, akad mudharabah mengalami perubahan
dan perkembangan dari akad asalnya pada zaman Rasulullah SAW.[5]
So, yuk
kita berekonomi syariah
Kalau
gak Ekonomi Syariah, Sorry Ah..
Untuk melanjutkan isi makalah
selanjutnya “Optimalisasi Mudharabah di Perbankan Syariah” silahkan
klik DI SINI
[1] Neneng
Nurhasanah, Mudharabah dalam..............hlm.112.
[2] Muhammad
Syafii Antonio, Bank Syariah..............hlm. 97.
[3] Neneng
Nurhasanah, Mudharabah dalam.......................hlm.113.
[4] Muhammad
Syafii Antonio, Bank Syariah..............hlm. 97.
[5] Neneng Nurhasanah, Mudharabah dalam..............hlm.114.
Post a Comment for "Implementasi Mudharabah Pada Perbankan Syariah"