Politik Zakat
By: Dani Kusumastuti
(Pakar
Keuangan Islam dan Konsultan UMKM di Purwokerto)
Apakah zakat dapat mengatasi kemiskinan di Indonesia ?
Jawabannya : TIDAK. Karena
kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural, maka persoalan kemiskinan
harus diselesaikan dengan politik (kebijakan)
Sebagian ulama katakan, zakat merupakan keputusan politik paling
penting dalam Islam. Kata paling penting mengacu pada tiga hal yakni zakat
bukan hanya wajib, zakat merupakan satu-satunya ibadah berdimensi ganda:
vertikal dan horizontal, dan zakat pun dijadikan Rukun Islam.
Pertanyaannya, mengapa zakat yang jadi Rukun Islam? Mengapa bukan
bank dan mengapa bukan asuransi? Bukankah zakat hanya untuk fakir miskin?
Mengapa kalangan marginal ini yang harus diperhatikan? Inilah substansi
‘politik’ zakat yang menjungkirkan logika berpikir manusia.
Politik praktis
Untuk menjawabnya, tiga ranah politik tersebut bisa dijadikan
pembedah. Ditinjau dari politik praktis, tujuan zakat memang jangka pendek.
Besarnya yang cuma 2,5 % langsung ditujukan pada fakir miskin. Karena
diwajibkan, semangat zakat pun diterapkan di semua denda. Kedudukan denda jadi
wajib atas segala pelanggaran. Seperti dam haji atau kafarat, pasti ditujukan
untuk fakir miskin.
Kendati jangka pendek, tujuan zakat tak berhenti di pemenuhan
kebutuhan semata. Ada tujuan mulia yang seperti ditegaskan Ibnu Taimiyah agar
kita memenuhi kebutuhan agar mereka bisa beribadah normal seperti muzaki. Dalam
ibadah, Islam memang tak memaksa. Tapi sebagai sesama Muslim, saling
mengingatkan wajib hukumnya. Dan jangan pernah percaya, bahwa si miskin lebih
soleh ketimbang si kaya.
Tujuan agar fakir miskin bisa ibadah normal, seperti menyiratkan
ancaman bagi si kaya. Padahal itu berarti bahwa keleluasaan beribadah harus juga
diberikan pada tetangganya yang tengah kesulitan. Jangan masuk surga sendirian.
Dengan zakat, masukilah surga ramai-ramai.
High politics
Dikaji dari sisi high politics, pesan zakat lebih kuat ketimbang
pajak. Dengan zakat, pemerintah diajari membangun bangsa. Zakat diprioritaskan
khusus untuk mustahik. Kendati luas, pengertian mustahik disederhanakan sebagai
kalangan mustadh’afin (tidak mampu). Pemerintah diajari untuk memperhatikan
mereka.
Orang kaya memang tak harus sekaya konglomerat. Yang pasti mereka
sudah mampu mengatasi persoalan dasar diri sendiri. Lihat saja perbankan dan
asuransi. Bukankah itu dibuat untuk mempertahankan comfort zone mereka? Islam
memang ajaran sempurna. Tentu tak adil jika Islam menetapkan bank dan asuransi
jadi salah satu pilar Rukun Islam. Jika itu terjadi, maka uang akan berputar di
antara orang kaya yang itu-itu juga. Dengan zakat, semangat itu diredam dan
ketamakan manusia digugat.
Dalam postulat manajemen, kekuatan organisasi terletak di simpul
terlemah. Dengan menemukan dan membenahi yang lemah, lembaga manapun akan jadi
kuat. Dengan membenahi yang miskin, negara akan tumbuh realistis jadi kuat.
Jumlah 120 juta orang miskin bukan simpul namanya. Itu ceruk kelemahan yang
menganga lebar, yang siap membetot siapapun untuk jadi miskin. Yang bisa
mencegah, hanya pemerintah. Karena bicara kebijakan, itu adalah ranah high
politics yang jadi hak penuh pemerintah.
Hidden politics
Zakat ternyata punya sisi hidden politics. Dalam istilah lain
adalah hidden agenda. Untuk yang wajib, bilangan dan waktunya jelas seperti
shalat hanya lima waktu, puasa yang wajib pun hanya saat Ramadhan. Yang sunah,
tak terhingga bilangannya. Islam memang luar biasa. Yang wajib, selalu sedikit
jumlahnya. Zakat pun kan cuma 2,5%. Selebihnya yang 97,5%, suatu angka yang
konteksnya boleh tak terhingga ini merupakan kekuatan bilangan tanpa batas ini
tampak maknanya bila disingkap dari istilah zakat.
Kata lain zakat adalah sedekah. Sedekah terbagi dua, materi dan
non-materi. Yang awam melihat, materi punya peran lebih. Bagi mereka, dengan
berzakat 2,5 % selesailah tugas Rukun Islam ketiga. Padahal jika dikaitkan
dengan kandungan kalifah fil’ardh, ternyata 2,5% itu tak cukup. Tiap orang akan
ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Pemimpin bukan hanya para pejabat atau
direktur. Pemimpin adalah minimal dia memimpin dirinya sendiri. Membawa diri
sebagai pemimpin, artinya dia harus bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi
lingkungannya.
Maka sebagai muzaki, Jokowi berzakat sebesar 2,5 %. Sebagai
presiden, apa sedekah Jokowi dan juga para pemimpin yang lain?. Sebagai pribadi
muzaki, mereka sudah bersedekah dalam bentuk zakat. Namun sebagai pemimpin,
mereka harus bersedekah dalam bentuk kebijakan. Hidden agenda zakat memang
mulia. Sedekah pemimpin tak lain membangun kehidupan dan peradaban.
(Catatan diambil dari sebagian ringkasan materi Eri Sudewo –
Lumbung Desa – Sinergy Foundation dalam kajian di Masjid Fatimatuzzahra
Purwokerto, 21 Maret 2017)
Post a Comment for "Politik Zakat"